HUMANIORA

Simbur Cahaya dan Piagam Sultan Palembang

Oleh: H Albar Sentosa Subari*
Tulisan ini hanya mengenang nostalgia perkembangan marga , Simbur Cahaya dan Piagam Sultan Palembang.
Istilah MARGA sebagai nama kesatuan masyarakat hukum yang berasaskan teritorial dan merupakan persekutuan daerah. Yang berasal dari piagam piagam Sultan Palembang. Dari isi piagam Ratu Sinuhun maupun Sunan Candi Walang.Saat mereka memasuki daerah uluan.
Yang sebelumnya di daerah uluan sudah terbentuk komunitas masyarakat hukum adat yang asli berdasarkan garis keturunan masing masing, dengan sebutan satu dusun atau komunitas masyarakat hukum adat tersebut berbeda beda, misalnya Kumoring mengenal istilah Kiai Pati, Di daerah lainnya menyebut dengan nama Jurai tuwe, Mamak, dan seterusnya.
Pada saat memasuki daerah uluan diperkirakan tahun 1485 Adipati Karang Widara, memberikan gelar gelar kehormatan untuk daerah daerah yang dimasukinya. Dengan menggunakan pendekatan pendekatan secara sosiologis dan Kultural.
Yaitu dibentuk daerah daerah di uluan dengan fungsi dan peranan yang berbeda .
Seperti” daerah sikap ( basis wilayah raja Palembang, ( daerah Belida, Pegagan dan Banyuasin). Mereka bebas membayar pajak tetapi diberi tugas tertentu misalnya menjadi laskar.
Selain itu ada ” daerah kepungutan” meliputi daerah Musi Ilir, Ogan ulu, komuring Ilir dan kumoring ulu.
Bagi masyarakat uluan kepala marga adalah ” Raja”. Karena Raja mereka telah tunduk dan bersahabat serta mengakui kedaulatan Raja Palembang, maka rakyat pun mengakuinya.
Kekuasaan Raja makin lama makin intensif dan mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Ratu Sinuhun ( 1630-1642M).
Pada masa inilah segala sesuatu dilembagakan sehingga dapat mengikat dan mendorong orientasi para kepala marga dalam satu kesatuan dengan Ratu Sinuhun adalah penguasa yang dianggap sebagai orang yang membuat peraturan peraturan atau melembaga aturan aturan adat pertama di uluan, yang kelak dikemudian hari tahun 1854, dijadikan Kitab Undang Undang Simbur Cahaya.
Arlan Ismail mengatakan walaupun kini sejarah nya daerah uluan Palembang sudah di bawah kekuasaan Sultan, namun kehidupan hukum masyarakat hukum adat tetap berjalan dengan tradisi masing masing. Hak hak dari tetua mereka telah mereka miliki dari nenek moyang mereka tetap berlaku seperti sedia kala, tetapi untuk selanjutnya disebut seolah olah didasarkan atas pemberian atau Kurnia dari Sultan. Hal ini dapat kita lihat aturan aturan yang tergambar dalam Simbur Cahaya yang sebahagian diangkat dari piagam piagam Sultan . Arlan Ismail, 2004.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut yaitu:
1. Komunitas masyarakat hukum adat semula bersifat geneologis dan dikepalai oleh pimpinan informal, antara lain di sebut Tuwa Tuwa adat.
2. Setelah masuknya kesultanan Palembang, komunitas masyarakat hukum adat berubah menjadi atau berasaskan teritorial, tergambar dikelompokkan nya wilayah yaitu daerah Sikap, kepungutan dan Sindang.
3.Simbur cahaya merupakan bagian dari piagam piagam Sultan Palembang, yang dibuat sebagai aturan. Istilah penulis adalah di kompilasikan.( Yang didukung istilah kompilasi oleh Prof.Dr.H.M.Koesnoe, SH).
4. Karena Simbur Cahaya adalah kompilasi maka bukan merupakan hukum adat, karena menurut catatan Arlan Ismail, hukum adat asli tetap hidup.
Hal itu di atas didukung oleh definisi hukum adat itu sendiri yaitu Hukum Adat adalah Hukum asli Indonesia yang tidak tertulis di dalam bentuk perundangan undangan Republik Indonesia dan disana sini mengandung unsur agama,,( Seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional/BPHN 1975, Yogyakarta dalam YC.Tambun Anyang, 2002- dalam pidato pengukuhan jabatan guru besar ilmu hukum adat FH Tanjung pura).
Dan pendapat Prof.Dr. Hazairin SH mengatakan Hukum Adat adalah hukum yang berasal dari endapan kesusilaan. (**)
*Penulis adalah pengamat hukum di Sumatera Selatan

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button