HUMANIORA

Hukum Adat Sebagai Sarana Pengendalian Sosial

Oleh: H Albar Sentosa Subari*

Menurut JS Roucek, pengendalian sosial mencakup segala proses, baik yang direncanakan, yang bersifat mendidik, mengajak bahkan memaksa warga masyarakat agar patuh pada nilai nilai dan kaedah kemasyarakatan yang berlaku.
Soerjono Soekanto disebut bahwa pengendalian sosial dapat dilakukan oleh suatu kelompok terhadap kelompok lainnya atau oleh satu kelompok terhadap individu.
Itu semuanya merupakan proses pengendalian sosial yang terjadi sehari hari, waktu pun seringkali manusia tidak menyadari ( Soelaiman Biasene Teneko; Soerjono Soekanto, 1979).
Dengan demikian, pengendalian sosial pada dasarnya merupakan pengekangan atau pembatasan satu tingkah laku dan pembetulan tingkah laku dari individu maupun kelompok yang pada dasarnya sebagai usaha untuk menciptakan satu tata nilai atau kaedah kaedah agar tercipta satu kedamaian atau ketentraman di dalam masyarakat. Oleh karena itu, pengendalian sosial juga merupakan usaha untuk menilai tingkah laku karena perbaikan itu berangkat dari penilaian yang diberikan oleh satu kelompok kepada individu atau sebaliknya. Penilaian inilah kemudian yang disebut sesuai atau tidak dengan nilai nilai atau kaedah kaedah yang ada, menjadi panutan bersama, landasan penutan ini yang kemudian disebut HUKUM ADAT, atau KEBIASAAN.
Hukum yang menjadi panutan ini kemudian merupakan landasan yang berfungsi sebagai alat pengawasan sosial atau social control, artinya memberikan pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan pengendalian sosial yaitu pengawasan dari masyarakat terhadap tingkah laku warganya. Hal ini sudah merupakan konsekuensi logis dari adanya suatu aturan, sebab adanya aturan ini para warga masyarakat akan menjadi mengerti bahwa mereka telah melakukan penyimpangan terhadap kaedah yang berlaku. Atau istilah Prof. Dr. R. Soepomo, SH telah melakukan DELIK ADAT.
Peranan hukum adat sebagai pengendali sosial kajian nya berawal dari ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku zaman Hindia Belanda agar jelas sejarahnya hingga sekarang masih dinyatakan berlaku.
Pada zaman Hindia Belanda, kedudukan hukum adat yang berfungsi sebagai sarana pengendalian sosial dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 131 ayat 2 sub b IS, yang menyebut bahwa Bagi golongan hukum Indonesia asli dan golongan Timur asing berlaku hukum adat mereka.
Selain dari peraturan perundang-undangan yang berasal dari zaman Hindia Belanda diatas, pengakuan terhadap kedudukan hukum adatpun dengan fungsinya sebagai pengendali sosial juga ada di dalam pasal 14 Undang Undang pokok kekuasaan kehakiman.dimana disebutkan Hakim sebagai organ pengadilan dianggap memahami hukum pencari keadilan datang pada nya untuk memohon keadilan.
Andaikata ia tidak menemukan hukum tertulis, maka ia wajib menggali hukum tidak tertulis untuk memutuskan berdasarkan hukum sebagai seorang yang bijaksana dan bertanggung jawab penuh pada Tuhan yang Maha Esa, diri sendiri, masyarakat, bangsa dan negara.

Mengenai apa yang dimaksud dengan hukum yang tidak tertulis pada pasal 14 ayat 1 di atas, dalam penjelasan umum dikatakan.
Ditetapkan bahwa peradilan adalah peradilan negara. Dengan demikian tidak ada tempat lagi bagi peradilan peradilan swapraja dan peradilan adat. Apabila peradilan peradilan ini masih ada, maka selekas mungkin mereka akan dihapuskan seperti yang secara berangsur angsur telah dilakukan.
Ketetapan ini tidaklah bermaksud untuk mengingkari hukum tidak tertulis yang disebut hukum adat, melainkan hanya akan mengalihkan perkembangan dan penerapan hukum itu kepada peradilan peradilan negara.
Jelas dengan demikian bahwa yang dimaksud dengan hukum yang tidak tertulis dalam undang-undang ini adalah hukum adat.
Oleh karena itu dapat dipahami bahwa hukum adat merupakan salah satu dasar bagi hakim untuk memutuskan suatu perkara berdasarkan hukum.
Namun demikian, disini menunjukkan bahwa hukum adat masih ditempatkan sebagai alternatif hukum dalam penyelesaian perkara yang ada dalam praktek hukum nasional.
Namun kedepannya diharapkan akan sejajar dengan hukum positif tertulis karena baik hukum positif tertulis dan hukum positif tidak tertulis dalam hal ini hukum adat adalah merupakan HUKUM DASAR. (**)

  1. *Penulis adalah ketua pembina adat di Sumatera Selatan

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button