HUMANIORA

Peradilan Bebas Kajian Politik Hukum

Oleh: H Albar Sentosa Subari*

Akhir akhir ini masalah kemandirian dan independensi lembaga peradilan mencuat kembali dan menjadi persoalan yang penting untuk dibicarakan dalam konteks reformasi hukum yang nampaknya belum menuju kearahnya.
Peradilan Bebas di Indonesia secara normatif dinyatakan dalam Pasal 24 Undang Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945.
Bab IX Pasal 24.
(1). Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
(2). Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
(3). Badan badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang.
Masalah independensi dan kemandirian peradilan, sesungguhnya telah lama menjadi diskusi publik, akan tetapi dalam alam reformasi sekarang ini, tampak sangat kondusif menjadi momen yang sangat berarti untuk mengembalikan fungsi peradilan sebagai benteng terakhir untuk memperoleh keadilan substantif.
Karena dalam pengertian selama ini ketidak independensi terletak pada posisi menduanya kekuasaan kehakiman ( secara administratif finansial tunduk pada menteri kehakiman, tetapi secara tehnis fungsional tunduk pada Mahkamah Agung).
Dalam era Reformasi masalah yang bersumber dari UU, oleh Prof. Muladi yang pada waktu itu menjabat Menkeh telah mereformasi berbagai peraturan perundang-undangan yang dianggap tidak sejalan dengan iklim dan tuntutan reformasi, termasuk untuk memberantas mafia peradilan.
Meskipun terjadi perubahan mendasar dalam perundang undangan akan tetapi persoalannya tidak terlepas pula oleh situasi kultural yang mentradisi di dalam pelaksanaan peradilan di Indonesia yang diejawantahkan oleh para hakim itu sendiri.
Dalam konteks ini Hakim adalah manusia biasa, dalam posisi nya sebagai anggota masyarakat tidak terlepas dari konflik dan pertentangan kepentingan, maka dalam hal ini pembuatan hukumnya juga berhadapan dengan masalah pengelolaan nilai nilai yang berbeda dan bertentangan.
Chambliss dan Seidman mengatakan, kemungkinan dapat terjadi pembentukan hukum akan terlihat sebagai suatu proses adu kekuatan, di mana negara merupakan senjata di tangan lapisan yang berkuasa. Maka dalam pemahaman yang lebih luas pelaksanaan proses peradilan yang bebas tidak bisa dilepaskan dari pengaruh yang timbul dari keadaan keadaan konkrit yang dihadapi pada waktu hakim membuat keputusan.
Saat ini yang menarik untuk mendapatkan perhatian dalam proses penyelesaian perkara di Pengadilan adalah munculnya kelompok-kelompok penekanan yang selama ini secara tersembunyi.
Kelompok kelompok ini menggunakan media dan lain sebagainya kadang kadang mendatangi lembaga peradilan dengan membaca pernyataan sikap.
Disisi lain kelompok masyarakat yang mewakili terdakwa, inheren pengacara berusaha menggunakan media yang ada memberikan info info yang bias, menggunakan sarana demo dan lain sebagainya, kesemuanya berusaha untuk mempengaruhi pembuatan keputusan majelis.
Realitas tersebut fenomenanya terjadi di berbagai peradilan di berbagai tingkatan dan pergumulan kepentingan tersebut berpengaruh secara signifikan dengan keputusan yang dihasilkan oleh hakim.
Ada kecenderungan putusan hakim mengikuti irama bagaimana kekuatan dan kepentingan konkrit masyarakat terhadap hukum. Sehingga dapat dirasakan betapa dalam kasus kasus seperti di atas banyak menghasilkan putusan putusan yang terlihat aneh tapi nyata.
J.E. Sahetapy yang melihat realitas tersebut menilai sistem ketatanegaraan kita sebagai demokrasi oleh remot kontrol, artinya kekuasaan terbesar bukan di dasarkan supremasi hukum dengan kekuasaan yang merdeka, tetapi supremasi keinginan remote kontrol. Pada sisi lain lembaga peradilan juga tidak bebas dari issue kolusi, suap dan mafia peradilan.
Melihat realitas tersebut, dapat lah dikatakan, bahwa peradilan di Indonesia tidak bebas dari intervensi dan campur tangan lainnya.
Tentu hal ini kalau ditata dari politik hukum nya baik dari sisi legislatif maupun eksekutif untuk segera di reformasi ulang terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dewasa ini disesuaikan dengan cita rasa yang terdapat dalam pembukaan UUD NKRI tahun 1945. Antara lain mewujudkan masyarakat adil dan makmur, dan makmur dalam keadilan, seperti yang sering diucapkan oleh Prof. Mr. Makmoen Soelaiman saat beliau memberi kuliah filsafat hukum di fakultas hukum universitas Sriwijaya.
Hal yang senada sama dengan judul buku ” Memanusiakan manusia karangan O. Notohamidjoyo. (**)

  1. *Penulis adalah pengamat hukum di Sumatera Selatan

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button