HUMANIORA
Marga Dalam Lingkaran Politik Hukum Orde Baru

Oleh: H Albar Sentosa Subari*
Politik Hukum di zaman orde baru khusus mengenai pemerintahan terendah, yang dulunya beragam dijadikan satu bentuk yaitu DESA.
Desa di bawah Camat , sebagai kepala wilayah kecamatan yang membawa beberapa desa dan beberapa kelurahan.
Di Sumatera Selatan karena Dusun (lama) adalah organisasi pemerintahan yang terendah maka dusun ( lama) dijadikan DESA dengan pola yang baru. Sehingga tidak ada lagi tempat bagi Marga sebagai suatu organisasi pemerintahan. Di bawah desa ada dusun, sebagai mana juga marga terdiri dari dusun dusun. Perbedaannya terletak pada dusun yang semula adalah kesatuan daerah hukum teritorial dan mempunyai pemimpin yang dipilih langsung, kini dusun merupakan daerah wilayah desa.
Marga dihapus dan dusun menjadi desa. Kepala dusun diangkat kepala desa.
Dalam prakteknya telah terjadi pemecahan Marga menjadi beberapa desa dalam pola baru.
Di mana peraturan perundang-undangan memberikan hak untuk dikaji oleh Pemerintah Daerah setempat yang dianggap lebih mengetahui fakta dan keadaan desa ( marga lama) yang berada dibawah nya.
Didalam rangka pembentukan, pemecahan, penyatuan dan penghapusan desa ( marga lama) disyaratkan untuk mempertimbangkan hal hal sebagai berikut:
a. Faktor manusia/jumlah penduduk, faktor alam, dan faktor sosial budaya termasuk adat istiadat.
b.Faktor luas wilayah dan sebagainya.
Jadi berhasil atau tidak misi Undang Undang nomor 5 tahun 1979 tergantung pada aturan pelaksanaan nya sendiri adalah fleksibel, dengan tujuan untuk memperkuat pemerintahan desa agar makin mampu menggerakkan masyarakat dalam partisipasi nya guna pembangunan.
Menjelang Reformasi, dalam rangka mendorong kearah otonomi yang seluas luasnya diadakanlah perubahan peraturan perundang-undangan yang mengatur pemerintahan daerah yaitu keluarlah Undang Undang nomor 22 tahun 1999, yang mengharuskan Undang Undang nomor 5 tahun 1974 Yo Undang Undang nomor 5 tahun 1979.
Sebelum undang undang nomor 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah dikeluarkan, pemerintah desa diatur dengan undang-undang nomor 5 tahun 1979.(terdiri dari 7 bab dan 41 pasal).
Di dalam undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah masalah desa hanya diatur dalam satu bab yaitu bab XI dengan 18 pasal.
Dalam undang-undang baru ini tidak diatur dan diserahkan kepada pemerintah kabupaten masing masing. Dengan demikian maka pemerintahan desa yang ada dalam praktek adalah pemerintahan desa yang diatur undang-undang nomor 5 tahun 1979, dengan beberapa perubahan.
Sekedar mengingatkan sejarah hukum dari politik hukum di masa orde baru di Sumatera Selatan adalah guna menindak lanjuti undang undang nomor 5 tahun 1974 Yo. 5 tahun 1979 dan sesudah dengan Permendagri no 11 tahun 1988, untuk Sumatera Selatan oleh pemerintah daerah dalam hal ini Gubernur Sumatera Selatan telah mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 142/ KPTS/III/ 1983 tanggal 24 Maret 1983 yang mulai diberlakukan tanggal 1 April 1983 tentang Penghapusan Pemerintahan Marga beserta perangkat nya.
Yang dihapus adalah soal Pemerintahan nya bukan marga (asli) sebagai kesatuan masyarakat hukum adat.
Lihat pada butir ketiga dalam Surat Keputusan tersebut. Yang selanjutnya disebut Lembaga Adat.
Kenapa Sistem Pemerintahan nya saja dari makna Marga yang dihapus.
Tentu jawabnya kembali ke sejarah hukum lagi menelusuri kebelakang.
Memang Marga dalam makna pemerintahan bukan lah konsep asli masyarakat hukum adat di Sumatera Selatan, karena bermula dari kesultanan Palembang dan diteruskan oleh kolonial Belanda adalah buatan mereka guna intervensi ke daerah uluan.
Secara Juridis dapat kita lihat dalam penjelasan undang-undang nomor 5 tahun 1979 Yo IGO dan IGOB, buatan kolonial Belanda, guna penyeragaman di masyarakat adat.
Di samping didukung oleh faktor faktor lain nya. (**)
Desa di bawah Camat , sebagai kepala wilayah kecamatan yang membawa beberapa desa dan beberapa kelurahan.
Di Sumatera Selatan karena Dusun (lama) adalah organisasi pemerintahan yang terendah maka dusun ( lama) dijadikan DESA dengan pola yang baru. Sehingga tidak ada lagi tempat bagi Marga sebagai suatu organisasi pemerintahan. Di bawah desa ada dusun, sebagai mana juga marga terdiri dari dusun dusun. Perbedaannya terletak pada dusun yang semula adalah kesatuan daerah hukum teritorial dan mempunyai pemimpin yang dipilih langsung, kini dusun merupakan daerah wilayah desa.
Marga dihapus dan dusun menjadi desa. Kepala dusun diangkat kepala desa.
Dalam prakteknya telah terjadi pemecahan Marga menjadi beberapa desa dalam pola baru.
Di mana peraturan perundang-undangan memberikan hak untuk dikaji oleh Pemerintah Daerah setempat yang dianggap lebih mengetahui fakta dan keadaan desa ( marga lama) yang berada dibawah nya.
Didalam rangka pembentukan, pemecahan, penyatuan dan penghapusan desa ( marga lama) disyaratkan untuk mempertimbangkan hal hal sebagai berikut:
a. Faktor manusia/jumlah penduduk, faktor alam, dan faktor sosial budaya termasuk adat istiadat.
b.Faktor luas wilayah dan sebagainya.
Jadi berhasil atau tidak misi Undang Undang nomor 5 tahun 1979 tergantung pada aturan pelaksanaan nya sendiri adalah fleksibel, dengan tujuan untuk memperkuat pemerintahan desa agar makin mampu menggerakkan masyarakat dalam partisipasi nya guna pembangunan.
Menjelang Reformasi, dalam rangka mendorong kearah otonomi yang seluas luasnya diadakanlah perubahan peraturan perundang-undangan yang mengatur pemerintahan daerah yaitu keluarlah Undang Undang nomor 22 tahun 1999, yang mengharuskan Undang Undang nomor 5 tahun 1974 Yo Undang Undang nomor 5 tahun 1979.
Sebelum undang undang nomor 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah dikeluarkan, pemerintah desa diatur dengan undang-undang nomor 5 tahun 1979.(terdiri dari 7 bab dan 41 pasal).
Di dalam undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah masalah desa hanya diatur dalam satu bab yaitu bab XI dengan 18 pasal.
Dalam undang-undang baru ini tidak diatur dan diserahkan kepada pemerintah kabupaten masing masing. Dengan demikian maka pemerintahan desa yang ada dalam praktek adalah pemerintahan desa yang diatur undang-undang nomor 5 tahun 1979, dengan beberapa perubahan.
Sekedar mengingatkan sejarah hukum dari politik hukum di masa orde baru di Sumatera Selatan adalah guna menindak lanjuti undang undang nomor 5 tahun 1974 Yo. 5 tahun 1979 dan sesudah dengan Permendagri no 11 tahun 1988, untuk Sumatera Selatan oleh pemerintah daerah dalam hal ini Gubernur Sumatera Selatan telah mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 142/ KPTS/III/ 1983 tanggal 24 Maret 1983 yang mulai diberlakukan tanggal 1 April 1983 tentang Penghapusan Pemerintahan Marga beserta perangkat nya.
Yang dihapus adalah soal Pemerintahan nya bukan marga (asli) sebagai kesatuan masyarakat hukum adat.
Lihat pada butir ketiga dalam Surat Keputusan tersebut. Yang selanjutnya disebut Lembaga Adat.
Kenapa Sistem Pemerintahan nya saja dari makna Marga yang dihapus.
Tentu jawabnya kembali ke sejarah hukum lagi menelusuri kebelakang.
Memang Marga dalam makna pemerintahan bukan lah konsep asli masyarakat hukum adat di Sumatera Selatan, karena bermula dari kesultanan Palembang dan diteruskan oleh kolonial Belanda adalah buatan mereka guna intervensi ke daerah uluan.
Secara Juridis dapat kita lihat dalam penjelasan undang-undang nomor 5 tahun 1979 Yo IGO dan IGOB, buatan kolonial Belanda, guna penyeragaman di masyarakat adat.
Di samping didukung oleh faktor faktor lain nya. (**)
*Penulis adalah ketua pembina adat Sumatera Selatan