Keterbatasan, Kebebasan, dan Tanggung Jawab Manusia
Oleh: H. Albar Sentosa Subari*
Takdir merupakan masalah asasi yang menyangkut kehidupan manusia secara menyeluruh. Ia mempunyai dua sisi, yaitu keterikatan dan kebebasan.
Pergumulan dengan masalah takdir tidak mungkin dihindari manusia, sebab bagaimana pun juga, persoalan itu menurut Valiudin, bukan hanya masalah akademis belaka. Sistem tekhnologi, politik, ekonomi, pendidikan, dan kriminologi didasarkan pertama Tama pada cara cara manusia menemukan tanda tanya historis itu. ( Lihat Mir Valiudin dalam Djohan Effendi, h.312).
QS. 57: 1-2, Mahasuci Ia yang di tangan Nya berada kerajaan dan Ia Mahakuasa di atas segala sesuatu. Yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian siapa yang paling baik amalnya di antara kalian, dan Ialah yang Maha perkasa Maha Pengampun.
Kedua ayat itu menunjukkan dan memperjelas kedudukan Tuhan sebagai Pencipta, Penguasa dan Pengatur alam semesta, kedudukan manusia sebagai makhluk yang diberi kebebasan dan sekaligus nisbah hubungan keduanya.
Untuk memperjelas pengertian takdir tersebut, Al-Qur’an memberikan beberapa contoh yang paling tampak dan dirasakan oleh, serta berhubungan erat dengan kehidupan manusia seperti ” waktu, benda benda dan peristiwa peristiwa alam yang menunjukkan adanya dan berlakunya takdir Ilahi dalam alam kenyataan ini
Dan Allah menetapkan ukuran ( yuqaddiru) siang dan malam.
Dari ayat ayat tersebut dapat dipahami bahwa takdir Ilahi pada hakekatnya adalah” Hukum Ilahi”, yang berlaku seluruh alam semesta dan dunia peristiwa. Dalam hubungan ini, Al Qur’an menyebutkan ungkapan lain, yakni Din Ilahi yang kepada Nya dunia bukan manusia menunjukkan dirinya tanpa kemungkinan berbuat lain.
Apakah bukan Din Allah yang mereka cari padahal segala yang ada di langit dan di bumi untuk kepada Nya, sukarela atau terpaksa dan kepada Nya lah mereka kembali. ( QS, 3:83).
Bahwa Din dapat dipahami sebagai hukum Ilahi yang mengikat dan mengatur alam semesta.
Kalam Azad ulama India, mengartikan sebagai Sunnatullah atau hukum kehidupan yang bekerja dalam alam. ( Ibid, 315).
Ahli sastra dan agama Dr. Binti Al-Syathy dari Universitas Cairo mengatakan, bahwa Iradat atau kehendak Ilahi ialah sesuatu hukum yang terlaksana dan suatu takdir yang tak dapat diubah lagi ( ibid. 317).
Sejalan dengan keterangan itu, Syaltut juga mengemukakan pemikiran nya, menurut beliau
….. Takdir tidak lain daripada keadilan yang bersifat mutlak dan kebijaksanaan yang bersifat menyeluruh dan umum. Ia tidak lain daripada hukum dan ketertiban dan mengikat sebab akibat atas dasar undang undang yang berketerusan; Ia adalah dasar seluruh masjid pokok semua hukum syariat dan atas perhitungan dan ganjaran di sisi Allah. ( Syaltut, ibid, h. 323).
Iqbal menegaskan lebih jelas lagi.
Takdir suatu benda … tidak merupakan nasib yang kejam yang bekerja dari luar seperti seorang majikan, melainkan merupakan jangkauan masuk ke dalam suatu benda, ke dalam kemungkinan kemungkinan nya yang dapat dilaksanakan yang terletak dalam dasar kodratnya, yang secara berurutan menyatakan diri tanpa merasakan ada paksaan dari luar.) Muhammad Iqbal, ibid, 323). (**)
*Penulis adalah pengamat sosial dan keagamaan di Sumatera Selatan