Indonesia Darurat Pernikahan Anak,Tingkat Kemiskinan Baru Jadi Ancaman
Jakarta, Medconas.com— Memasuki awal tahun 2023, tingkat pernikahan dini terhadap anak di Indonesia semakin mengkhawatirkan. Sebab perkawinan anak ini merupakan pelanggaran hak anak dimana anak akan terhambat dalam mendapatkan hak-hak yang wajib mereka dapatkan. Di satu sisi, anak merupakan generasi muda yang memiliki peran penting dalam menjaga dan meneruskan cita-cita bangsa. Maka karena itu, upaya perlindungan dan pemenuhan hak bagi setiap anak merupakan kewajiban bagi negara. Hal ini disampaikan langsung Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Anak, Perempuan, dan Pemuda Kemenko PMK, Femmy Eka Kartika Putri, didampingi oleh Asisten Deputi Pemenuhan Hak dan Perlindungan Anak Kemenko PMK Imron Rosadi belum lama ini.
Dalam paparanya,Femmy mengatakan bahwa Provinsi Jawa Timur menjadi provinsi dengan angka perkawinan anak paling tinggi, yaitu 10,44 % lebih tinggi dari angka rata-rata nasional. Selain itu, angka permohonan dispensasi perkawinan anak di Provinsi Jawa Timur merupakan yang tertinggi se-Indonesia, yaitu sebanyak 15.337 kasus atau 29,4 % kasus nasional.
“ Yang kita cemaskan dari araknya perkawinan anak ini adalah akan menimbulkan polemik baru yaitu meningkatnya tingkat kemiskinan baru. Jika mereka (anak muda) tidak diberikan edukasi dan sosialisasi yang baik tentang pendidikan perkawinan yang bisa jadi kemiskinan ekstrem akan tumbuh,” ujar Femmy dikutip dari kemenkopmk.go.id
Bicara perkawinan anak dibawah umur, Provinsi Jawa Timur merupakan salah satu penyumbang angka perkawinan anak terbesar di Indonesia hingga menyebabkan dispensasi perkawinan. Dispensasi nikah merupakan upaya bagi mereka yang ingin menikah namun belum mencukupi batas usia untuk menikah yang telah ditetapkan oleh pemerintah, sehingga orang tua bagi anak yang belum cukup umurnya tersebut bisa mengajukan dispensasi nikah ke Pengadilan Agama melalui proses persidangan terlebih dahulu agar mendapatkan izin dispensasi perkawinan.
” Faktor utama terjadinya dispensasi kawin yaitu seperti kurangnya sosialisasi mengenai pendidikan perkawinan anak kepada anak, orang tua, dan masyarakat setempat. Selain itu, kurangnya pengawasan dari orang tua serta faktor ekonomi. Fenomena ini tentu sangat mengkhawatirkan tak hanya dari segi sosial, kondisi itu juga rawan menimbulkan efek negatif lanjutan. Salah satunya potensi meningkatnya kasus stunting “ bebernya.
Untuk itu sambungnya, pengawasan dari orang tua, masyarakat, dan pemerintah daerah juga diperlukan agar anak muda saat ini tetap dalam pengawasan untuk mencegah terjadinya perkawinan anak.
” Seharusnya mereka ini bisa dibina loh, diberikan edukasi, dukung mereka dengan kegiatan-kegiatan yang positif untuk mengasah minat dan bakat mereka. Dengan begitu maka peningkatan kualitas sumber daya manusia pun diharapkan dapat mengurangi angka perkawinan muda di Indonesia, sehingga para orang tua juga dapat memanfaatkan fasilitas pendidikan yang telah diberikan oleh pemerintah dan tidak putus sekolah, ” ungkapnya.
Sementara itu berdasarkan data pengadilan agama, setidaknya ada 55 ribu permohonan dispensasi perkawinan usia anak sepanjang tahun 2022. Dua alasan teratas adalar sudah hamil terlebih dulu atau dorongan orang tua segera menikah karena sudah memiliki teman dekat atau pacar.
Berdasarkan data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) juga mencatat kasus pernikahan di usia anak relatif tinggi. Pada tahun 2022, prevalensi perkawinan anak di Indonesia berada di angka 8,06 persen.
“Data prevalensi perkawinan ini ada dua, terkait dengan dispensasi kawin dan pernikahan anak. Akhir tahun 2022 ada 55 ribu dispensasi kawin dan tertinggi di 4 provinsi yakni Jatim, Jateng, Jabar dan Sumsel,” ujar Plt Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak KemenPPPA Rini Handayani, SE MM
Menyikapi polemik ini, Irma Suryani Chaniago, Sekretaris Jenderal KPPRI sekaligus Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Nasional Demokrat (Nasddem) dilansir dari www.voaindonesia.com membenarkan praktik perkawinan anak atau usia dini memang marak di berbagai daerah.
Di daerah pemilihannya, Sumatera Selatan (Sumsel), Irma mengatakan banyak anak SMP menikah dengan alasan untuk mengurangi beban ekonomi keluarga. Namun parahnya, calon suami kerap anak-anak remaja. Dan banyak pasangan muda yang menikah ini kemudian menyerahkan perawatan anak mereka kepada orang tua, atau kakek-nenek anak tersebut, karena mereka belum bekerja atau bekerja serabutan.
Seharusnya kata Irma, syarat usia minimal bagi perempuan untuk berumah tangga sedianya 21 tahun karena pada usia itu alat reproduksi perempuan sudah matang dan secara psikologis mereka sudah siap menjadi ibu. Sedangkan bagi lelaki umur minimal 25 tahun. Kedua syarat umur minimal untuk menikah itu, menurut Irma, sesuai dengan program yang dikampanyekan oleh Badan Koordinasi keluarga Berencana Nasional (BKKBN).
“Saya mewakili Komisi IX, sebagai Sekjen KPPRI, kami bersepakat dengan mitra di Koalisi Perempuan untuk bisa melegalkan perkawinan anak perempuan dan laki-kali di usia yang memang pantas untuk menikah dan tidak membawa dampak-dampak negatif di kemudian hari, dan bisa membuat pasangan ini mempertanggungjawabkan kehidupannya kepada orang tua, negara, dan anak yang akan dilahirkan,”pintanya.