HUMANIORA
Mengenang Piagam Jakarta

Oleh: H. Albar Sentosa Subari*
Anggota BPUPK secara garis besarnya dibagi dua kelompok yakni golongan Nasionalis dan golongan Islam, atau disebut juga dengan golongan Nasionalis Sekuler dan golongan Nasionalis Islam. Namun tidaklah sesederhana seperti itu karena dalam golongan Nasionalis Sekuler juga terdapat tokoh tokoh yang ingin melaksanakan Syariat Islam. Dalam catatan kaki buku RM A.B. Kusuma, menyebutkan antara lain seperti R.A.A.Wiranatakusuma yang mendirikan Bait Al -Mal di Bandung ( Benda, 1957: 145). Mr. R. Samsudin yang berasal dari Pasentren, kemudian menjadi pengurus Masyumi dan R.T. Abdul Rachim Pratalykrama yang mengusulkan agar Presiden adalah orang Indonesia asli yang beragama Islam.
Sedangkan Jepang membagi anggota BPUPK menjadi lima golongan, yakni golongan Pergerakan, golongan Islam, golongan Birokrat, wakil kerajaan ( kooti), Pangreh Praja ( Residen/ wakil residen, Bupati, Walikota dan golongan Minoritas, yakni peranakan Belanda, Tionghoa dan Arab)
Kembali membaca catatan kaki buku R.M.A.B. Kusuma, yang mengutip dari pendapat dan diakui Prawoto Mangkusasmito ( Prawoto, 1970: 7, dan Ansari, 1986; 53) bahwa di tahun 1945, Ir. Sukarno mati matian mempertahankan adanya anak kalimat ” dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk pemeluknya”, karena beliau adalah tokoh yang mengambil inisiatif untuk menyusun Piagam Jakarta ( R.M. A.B. Kusuma, 20).
Pada tanggal 18-21 Juni 1945 diselenggarakan sidang Cuo Sangi In di Jakarta. Dalam pertemuan tersebut dihadiri oleh 38 orang. Dalam pertemuan itu dibentuk lah Panitia Kecil yang terdiri dari 9 orang. Pertemuan itu menghasilkan Rancangan Pembukaan UUD yang oleh Ir. Soekarno diberi judul ” Mukadimah, ” oleh Mr. M. Yamin dinamakan ” Piagam Jakarta ” dan oleh Dr. Sukiman disebut ” Gentleman’s Agreement, karena belum menjadi keputusan BPUPK.( Ibid).
Pertemuan itu dapat disepakati karena Itu. Soekarno menampung semua aliran pemikiran dari golongan Islam dan mengubah perbandingan antara golongan Nasionalis dan golongan Islam di Panitia Kecil; yang semula 6 berbanding 2, menjadi 5 berbanding 4.
Panitia Kecil yang baru terbentuk itu diwakili golongan Nasionalis yaitu Ir. Soekarno, Drs. M
Hatta, Mr. M. Yamin, Mr. Maramis, Mr. Subardjo, sedangkan dari golongan Islam, diwakili oleh K.H. Wachid Hasyim, K.H. Kahar Muzakir, H. Agus Salim dan R. Abikusno Tjokrosuyoso.
Terhadap keberadaan tujuh anak kata tersebut , menjadikan dialog dialog yang seru antara anggota BPUPK /PPKI ada yang setuju mempertahankan, ada yang merubah sedikit kata, ada juga yang mau menghilangkan nya, tentu dengan beberapa argumentasi dan catatan catatan yang disampaikan oleh peserta rapat.
Untuk itu bisa dibaca dalam tulisan M.Yamin, 1959 halaman 262 serta dalam Risalah, 1995 halaman 225).
Perdebatan tentang Piagam Jakarta, masih tetap timbul lagi waktu sidang Konstituante yang berlangsung dari tahun 1956-1959. Golongan Islam menginginkan agar anak kalimat ” dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk pemeluknya” dicantumkan lagi dalam Pembukaan UUD 1945. Tetapi golongan Nasionalis menolak karena trauma terhadap intervensi bahwa adanya tujuh kata itu, harus berarti bahwa Presiden Republik Indonesia ialah orang Indonesia asli yang beragama Islam. Dikhawatirkan bahwa interpretasi seperti itu harus berlaku pula untuk Menteri, Panglima Angkatan dan sebagainya.
Setelah konstituante tidak dapat memecahkan naskah dasar negara, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit untuk kembali ke UUD 1945. Presiden Soekarno memecahkan persoalan tersebut dengan membuat kompromi lagi, yakni menyatakan bahwa ” Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945 dan adalah merupakan rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut. ( Ibid., 24).
Sedangkan Jepang membagi anggota BPUPK menjadi lima golongan, yakni golongan Pergerakan, golongan Islam, golongan Birokrat, wakil kerajaan ( kooti), Pangreh Praja ( Residen/ wakil residen, Bupati, Walikota dan golongan Minoritas, yakni peranakan Belanda, Tionghoa dan Arab)
Kembali membaca catatan kaki buku R.M.A.B. Kusuma, yang mengutip dari pendapat dan diakui Prawoto Mangkusasmito ( Prawoto, 1970: 7, dan Ansari, 1986; 53) bahwa di tahun 1945, Ir. Sukarno mati matian mempertahankan adanya anak kalimat ” dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk pemeluknya”, karena beliau adalah tokoh yang mengambil inisiatif untuk menyusun Piagam Jakarta ( R.M. A.B. Kusuma, 20).
Pada tanggal 18-21 Juni 1945 diselenggarakan sidang Cuo Sangi In di Jakarta. Dalam pertemuan tersebut dihadiri oleh 38 orang. Dalam pertemuan itu dibentuk lah Panitia Kecil yang terdiri dari 9 orang. Pertemuan itu menghasilkan Rancangan Pembukaan UUD yang oleh Ir. Soekarno diberi judul ” Mukadimah, ” oleh Mr. M. Yamin dinamakan ” Piagam Jakarta ” dan oleh Dr. Sukiman disebut ” Gentleman’s Agreement, karena belum menjadi keputusan BPUPK.( Ibid).
Pertemuan itu dapat disepakati karena Itu. Soekarno menampung semua aliran pemikiran dari golongan Islam dan mengubah perbandingan antara golongan Nasionalis dan golongan Islam di Panitia Kecil; yang semula 6 berbanding 2, menjadi 5 berbanding 4.
Panitia Kecil yang baru terbentuk itu diwakili golongan Nasionalis yaitu Ir. Soekarno, Drs. M
Hatta, Mr. M. Yamin, Mr. Maramis, Mr. Subardjo, sedangkan dari golongan Islam, diwakili oleh K.H. Wachid Hasyim, K.H. Kahar Muzakir, H. Agus Salim dan R. Abikusno Tjokrosuyoso.
Terhadap keberadaan tujuh anak kata tersebut , menjadikan dialog dialog yang seru antara anggota BPUPK /PPKI ada yang setuju mempertahankan, ada yang merubah sedikit kata, ada juga yang mau menghilangkan nya, tentu dengan beberapa argumentasi dan catatan catatan yang disampaikan oleh peserta rapat.
Untuk itu bisa dibaca dalam tulisan M.Yamin, 1959 halaman 262 serta dalam Risalah, 1995 halaman 225).
Perdebatan tentang Piagam Jakarta, masih tetap timbul lagi waktu sidang Konstituante yang berlangsung dari tahun 1956-1959. Golongan Islam menginginkan agar anak kalimat ” dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk pemeluknya” dicantumkan lagi dalam Pembukaan UUD 1945. Tetapi golongan Nasionalis menolak karena trauma terhadap intervensi bahwa adanya tujuh kata itu, harus berarti bahwa Presiden Republik Indonesia ialah orang Indonesia asli yang beragama Islam. Dikhawatirkan bahwa interpretasi seperti itu harus berlaku pula untuk Menteri, Panglima Angkatan dan sebagainya.
Setelah konstituante tidak dapat memecahkan naskah dasar negara, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit untuk kembali ke UUD 1945. Presiden Soekarno memecahkan persoalan tersebut dengan membuat kompromi lagi, yakni menyatakan bahwa ” Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945 dan adalah merupakan rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut. ( Ibid., 24).
Demikianlah tulisan ini dimuat dalam bentuk artikel singkat, sebagai upaya mengingat kembali perjuangan para pahlawan bangsa guna mencapai negara kesatuan Republik Indonesia. Saat kita memperingati hari Piagam Jakarta, di tahun 2023. (**)
*Penulis adalah Ketua Jaringan Panca Mandala (JPM) Sriwijaya-Sumatera Selatan