HUMANIORA
Tindak Pidana Terhadap Agama dan Kepercayaan
Oleh: H. Albar Sentosa Subari*
Terminologi delik agama sesungguhnya bukan merupakan istilah yang baku sebagaimana delik delik/ tindak Pidana lain yang dicantumkan dalam Kitab Undang Hukum Pidana.
Istilah ” delik agama/ tindak Pidana agama” pertama kali diperkenalkan oleh Prof. Dr. Oemar Seno Adji, guru besar hukum pidana Universitas Indonesia pada tahun 1975 melalui makalah nya yang berjudul Pengaruh Kebudayaan dan Agama Terhadap Hukum Pidana.
Meski demikian istilah delik agama yang dikenal kan tersebut masih menimbulkan kebingungan, karena membawa minimal tiga makna atau pikiran sebagai berikut:
a. Delik menurut agama
b. Delik terhadap agama
c. Delik yang berhubungan dengan agama.
Pengertian tiga delik tersebut sudah menyebar dalam KUHP yang sekarang berlaku.
Namun jika merujuk kepada tulisan yang dibuat oleh Oemar Seno Adji, maka delik agama yang dimaksud adalah dalam pengertian delik terhadap agama dan delik yang berhubungan dengan agama.( Ifdhal Kasim dalam Aliansi Reformasi KUHP)..
Dalam sejarahnya, gagasan perumusan delik agama masuk dalam KUHP berawal dari seminar hukum nasional 1 pada tahun 1963 yang menghasilkan suatu resolusi bahwa perlu dimasukkannya delik agama dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana Nasional. Alasannya adalah karena dasar negara kita yaitu Pancasila khususnya sila pertama tentang Ketuhanan Yang Maha Esa dengan Pasal 29 UU D tahun 1945 yang menjadi dasar dalam kehidupan keagamaan di Indonesia. Ketentuan tersebut dijadikan pembenaran penciptaan delik delik agama dalam KUHP.
Dalam pandangan para perumus awal bahwa agama dalam kehidupan dan kenyataan hukum merupakan faktor fundamental, sehingga dapat lah dimengerti apabila faktor tersebut dapat digunakan sebagai landasan kuat dan kokoh dihidupkannya delik delik agama. Delik agama dapat hidup berdampingan dengan delik delik susila, bahkan dapat mengambil unsur agama sebagai sumber inspirasi.
Hal pokok yang ingin dilindungi dalam konsep delik terhadap agama adalah melindungi kesucian agama itu sendiri, bukan melindungi kebebasan beragama para pemeluk pemeluknya ( individu). Sebab menurut perancang nya, agama perlu dilindungi dari kemungkinan kemungkinan perbuatan yang dapat merendahkan atau menistakan simbol simbol agama, seperti Tuhan, Nabi , Kitab Suci dan sebagainya. Oemar Seno Adji memberikan argumentasi bahwa dimaksud kan untuk melindungi kesucian agama, tetapi karena agama ” tidak bisa bicara”, maka pasal ini juga ditujukan untuk melindungi para penganut agama.
Prof. Muladi, menyebutkan adanya sejumlah kebutuhan mendasar yang perlu dijembatani dalam permasalahan pengaturan delik delik agama tersebut, yaitu
1. Tertib administrasi pluralistik. Maksudnya adalah bahwa keanekaragaman paham keagamaan akan dilindungi, dan untuk itu sebuah pengaturan hukum untuk menjamin tertibnya keanekaragaman yang ada dalam masyarakat Indonesia.
2. Rasa keagamaan masyarakat. Perancang Undang Undang berpendapat bahwa perasaan masyarakat dalam melakukan persoalan keagamaan menjadi tolok ukurnya keberhasilan penerapan sebuah peraturan, sehingga undang undang dibuat untuk semestinya terjaminnya nilai nilai keagamaan yang dianut masyarakat.
3. Kepentingan keagamaan. Selain yang sifatnya publik, perhatian juga diberikan juga kepada institusi keagamaan untuk mengembangkan fungsinya. Sehingga diharapkan mampu menyediakan jaminan sehingga keagamaan dapat berkembang secara kondusif. ( Muladi dalam Aliansi Reformasi KUHP).
Delik atau tindak Pidana terhadap agama, dalam KUHP diatur dalam bab VII. Yang terdiri dari dua bagian pertama tindak Pidana terhadap agama dan kepercayaan ( pasal 300 – 302)
Bagian kedua tentang Tindak Pidana terhadap Kehidupan Beragama atau kepercayaan san sarana ibadah ( pasal 303. – 305). Pasal 300.
Setiap orang di muka umum yang:
a. melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan;
b menyatakan kebencian atau permusuhan; atau
c. menghasut untuk melakukan permusuhan, kekerasan, atau diskriminasi, terhadap agama, kepercayaan orang lain, golongan atau kelompok atas dasar agama atau kepercayaan di Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.
Pasal 301
1. Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, menempelkan tulisan atau gambar, atau memperdengarkan suatu rekaman, termasuk menyebarluaskan melalui sarana tekhnologi informasi yang berisi tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 300, dengan maksud agar isi tulisan, gambar atau rekaman tersebut diketahui atau lebih diketahui oleh umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak kategori V.
3. Jika setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat 1 melakukan perbuatan tersebut dalam menjalankan profesinya dan atau waktu itu belum lewat 2 tahun sejak adanya putusan pemidanaan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak Pidana yang sama maka dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak sebagaimana dimaksud dalam pasal 86 huruf f.
Pasal 302.
1. Setiap orang di muka umum menghasut dengan maksud agar seseorang menjadi tidak beragama atau berkepercayaan yang dianut di Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau pidana denda paling banyak kategori III
2. Setiap orang yang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang menjadi tidak beragama atau berkepercayaan atau berpindah agama atau kepercayaan yang dianut di Indonesia, dipidana dengan Pidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV. Pasal. 303.
1. Setiap orang yang membuat gaduh di dekat tempat untuk menjalankan ibadah pada waktu ibadah sedang berlangsung, dipidana dengan Pidana denda paling banyak kategori I.
2. Setiap orang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan mengganggu, merintangi, atau membubarkan pertemuan keagamaan atau kepercayaan, dipidana dengan Pidana penjara paling lama 2 tahun atau pidana denda paling banyak kategori III.
3. Setiap orang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, atau membubarkan orang yang sedang melaksanakan ibadah atau upacara keagamaan atau kepercayaan, dipidana dengan Pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.
Pasal 304.
Setiap orang yang di muka umum melakukan penghinaan terhadap orang yang sedang menjalankan atau memimpin penyelenggaraan ibadah atau upacara keagamaan atau kepercayaan, dipidana dengan Pidana penjara paling lama 1 tahun atau pidana denda paling kategori III.
Pasal 305.
1. Setiap orang yang menodai bangunan tempat beribadah atau upacara keagamaan atau kepercayaan atau benda yang dipakai untuk beribadah atau upacara keagamaan atau kepercayaan, dipidana dengan Pidana penjara paling lama 1 tahun atau pidana denda paling banyak kategori II.
2. Setiap orang yang melawan hukum merusak atau membakar bangunan tempat ibadah atau upacara keagamaan atau kepercayaan atau benda yang dipakai untuk beribadah atau upacara keagamaan atau kepercayaan, dipidana dengan Pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak kategori V. (**)
Istilah ” delik agama/ tindak Pidana agama” pertama kali diperkenalkan oleh Prof. Dr. Oemar Seno Adji, guru besar hukum pidana Universitas Indonesia pada tahun 1975 melalui makalah nya yang berjudul Pengaruh Kebudayaan dan Agama Terhadap Hukum Pidana.
Meski demikian istilah delik agama yang dikenal kan tersebut masih menimbulkan kebingungan, karena membawa minimal tiga makna atau pikiran sebagai berikut:
a. Delik menurut agama
b. Delik terhadap agama
c. Delik yang berhubungan dengan agama.
Pengertian tiga delik tersebut sudah menyebar dalam KUHP yang sekarang berlaku.
Namun jika merujuk kepada tulisan yang dibuat oleh Oemar Seno Adji, maka delik agama yang dimaksud adalah dalam pengertian delik terhadap agama dan delik yang berhubungan dengan agama.( Ifdhal Kasim dalam Aliansi Reformasi KUHP)..
Dalam sejarahnya, gagasan perumusan delik agama masuk dalam KUHP berawal dari seminar hukum nasional 1 pada tahun 1963 yang menghasilkan suatu resolusi bahwa perlu dimasukkannya delik agama dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana Nasional. Alasannya adalah karena dasar negara kita yaitu Pancasila khususnya sila pertama tentang Ketuhanan Yang Maha Esa dengan Pasal 29 UU D tahun 1945 yang menjadi dasar dalam kehidupan keagamaan di Indonesia. Ketentuan tersebut dijadikan pembenaran penciptaan delik delik agama dalam KUHP.
Dalam pandangan para perumus awal bahwa agama dalam kehidupan dan kenyataan hukum merupakan faktor fundamental, sehingga dapat lah dimengerti apabila faktor tersebut dapat digunakan sebagai landasan kuat dan kokoh dihidupkannya delik delik agama. Delik agama dapat hidup berdampingan dengan delik delik susila, bahkan dapat mengambil unsur agama sebagai sumber inspirasi.
Hal pokok yang ingin dilindungi dalam konsep delik terhadap agama adalah melindungi kesucian agama itu sendiri, bukan melindungi kebebasan beragama para pemeluk pemeluknya ( individu). Sebab menurut perancang nya, agama perlu dilindungi dari kemungkinan kemungkinan perbuatan yang dapat merendahkan atau menistakan simbol simbol agama, seperti Tuhan, Nabi , Kitab Suci dan sebagainya. Oemar Seno Adji memberikan argumentasi bahwa dimaksud kan untuk melindungi kesucian agama, tetapi karena agama ” tidak bisa bicara”, maka pasal ini juga ditujukan untuk melindungi para penganut agama.
Prof. Muladi, menyebutkan adanya sejumlah kebutuhan mendasar yang perlu dijembatani dalam permasalahan pengaturan delik delik agama tersebut, yaitu
1. Tertib administrasi pluralistik. Maksudnya adalah bahwa keanekaragaman paham keagamaan akan dilindungi, dan untuk itu sebuah pengaturan hukum untuk menjamin tertibnya keanekaragaman yang ada dalam masyarakat Indonesia.
2. Rasa keagamaan masyarakat. Perancang Undang Undang berpendapat bahwa perasaan masyarakat dalam melakukan persoalan keagamaan menjadi tolok ukurnya keberhasilan penerapan sebuah peraturan, sehingga undang undang dibuat untuk semestinya terjaminnya nilai nilai keagamaan yang dianut masyarakat.
3. Kepentingan keagamaan. Selain yang sifatnya publik, perhatian juga diberikan juga kepada institusi keagamaan untuk mengembangkan fungsinya. Sehingga diharapkan mampu menyediakan jaminan sehingga keagamaan dapat berkembang secara kondusif. ( Muladi dalam Aliansi Reformasi KUHP).
Delik atau tindak Pidana terhadap agama, dalam KUHP diatur dalam bab VII. Yang terdiri dari dua bagian pertama tindak Pidana terhadap agama dan kepercayaan ( pasal 300 – 302)
Bagian kedua tentang Tindak Pidana terhadap Kehidupan Beragama atau kepercayaan san sarana ibadah ( pasal 303. – 305). Pasal 300.
Setiap orang di muka umum yang:
a. melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan;
b menyatakan kebencian atau permusuhan; atau
c. menghasut untuk melakukan permusuhan, kekerasan, atau diskriminasi, terhadap agama, kepercayaan orang lain, golongan atau kelompok atas dasar agama atau kepercayaan di Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.
Pasal 301
1. Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, menempelkan tulisan atau gambar, atau memperdengarkan suatu rekaman, termasuk menyebarluaskan melalui sarana tekhnologi informasi yang berisi tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 300, dengan maksud agar isi tulisan, gambar atau rekaman tersebut diketahui atau lebih diketahui oleh umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak kategori V.
3. Jika setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat 1 melakukan perbuatan tersebut dalam menjalankan profesinya dan atau waktu itu belum lewat 2 tahun sejak adanya putusan pemidanaan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak Pidana yang sama maka dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak sebagaimana dimaksud dalam pasal 86 huruf f.
Pasal 302.
1. Setiap orang di muka umum menghasut dengan maksud agar seseorang menjadi tidak beragama atau berkepercayaan yang dianut di Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau pidana denda paling banyak kategori III
2. Setiap orang yang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang menjadi tidak beragama atau berkepercayaan atau berpindah agama atau kepercayaan yang dianut di Indonesia, dipidana dengan Pidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV. Pasal. 303.
1. Setiap orang yang membuat gaduh di dekat tempat untuk menjalankan ibadah pada waktu ibadah sedang berlangsung, dipidana dengan Pidana denda paling banyak kategori I.
2. Setiap orang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan mengganggu, merintangi, atau membubarkan pertemuan keagamaan atau kepercayaan, dipidana dengan Pidana penjara paling lama 2 tahun atau pidana denda paling banyak kategori III.
3. Setiap orang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, atau membubarkan orang yang sedang melaksanakan ibadah atau upacara keagamaan atau kepercayaan, dipidana dengan Pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.
Pasal 304.
Setiap orang yang di muka umum melakukan penghinaan terhadap orang yang sedang menjalankan atau memimpin penyelenggaraan ibadah atau upacara keagamaan atau kepercayaan, dipidana dengan Pidana penjara paling lama 1 tahun atau pidana denda paling kategori III.
Pasal 305.
1. Setiap orang yang menodai bangunan tempat beribadah atau upacara keagamaan atau kepercayaan atau benda yang dipakai untuk beribadah atau upacara keagamaan atau kepercayaan, dipidana dengan Pidana penjara paling lama 1 tahun atau pidana denda paling banyak kategori II.
2. Setiap orang yang melawan hukum merusak atau membakar bangunan tempat ibadah atau upacara keagamaan atau kepercayaan atau benda yang dipakai untuk beribadah atau upacara keagamaan atau kepercayaan, dipidana dengan Pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak kategori V. (**)
*Penulis adalah Ketua JPM Sriwijaya Sumatera Selatan