HUMANIORA

Memahami Dua Kitab

Oleh: H Albar Sentosa Subari*

Kitab yang kita maksudkan adalah hukum kodifikasi yang masih diberlakukan di lingkungan sistem hukum kita. Hukum Kodifikasi tersebut ialah hukum pidana dan hukum perdata.Hukum pidana kita temukan di dalam kodifikasi tentang itu yaitu Kitab Undang Undang Hukum Pidana atau lebih tepat disebut Wetboek Van Strafrecht (S.1915-732 Jo 1917-497-645) dan Hukum Perdata yang disebut Kitab Undang Undang Hukum Perdata atau dinamakan Burgerlijk Wetboek, yang lebih banyak dikenal dengan sebutan singkatan BW (S.1847-23, 1921-556, S, 199-129). Sebagai UU (WvS, BW) keduanya adalah produk dari pemerintahan Belanda dengan menggunakan bahasa resmi yaitu bahasa Belanda.Demikian juga dokmatik hukum nya mengikuti dokmatik hukum Belanda.
Kedua dari kitab tersebut, digunakan sampai sekarang, tentu menjadikan persoalan persoalan baik di kalangan praktisi dan akademisi.
Persoalannya adalah, dapat kita bagi dalam phase penguasa bahasa Belanda dan tentu berkaitan dengan dokmatik hukum nya, yaitu sebagai berikut:
1. Pada mulanya kalangan kita baik praktek maupun teori memahami betul ketentuan ketentuan dan dokmatik hukum nya dengan jalan langsung membaca teks aslinya ( 1945-1955).
2. Kemudian berkembang menjadi memakai dan berdasarkan kepada terjemahan, dan jika perlu saja sedikit sedikit melihat kepada teks aslinya ( 1955-1960).
3. Kemudian sama sekali mendasarkan diri sepenuhnya kepada terjemahan perorangan, sebut saja misalnya Terjemahan Soesilo, Muljono untuk pidana dan Soebekti untuk perdata dan lain sebagainya.(1960-sekarang) lihat Koesnoe. Dampak nya bahwa , secara perlahan lahan ujud undang undang ini (WvS dan BW) semakin lama semakin kabur dari ujud aslinya. Akhirnya dewasa ini umum terjadi kedua nya tidak dikenal lagi sebagai undang-undang, akan tetapi yang dikenal hanya ujud terjemahan saja.
Hingga kita terlena bahwa terjemahan itu Bukan Undang Undang nya.
Padahal hasil terjemahan perorangan tidak dapat dilihat sebagai UU atau hukum tertulis sebagai produk legislatif. Karena produk terjemahan perorangan bukan lah resmi, sehingga kedua terjemahan kitab di atas tidak lah mengikat sebagaimana undang undang. Namun fakta di lapangan baik secara praktis dan teori nyatanya seolah olah adalah undang-undang. Dapatlah dikatakan terjemahan perorangan tersebut kini telah tumbuh menjadi semacam: Books of Authority, tentang Hukum Kodifikasi yang ada.
Mengingat kondisi yang terjadi yang sebenarnya memang tidak dapat di hindari hal itu terjadi karena, untuk itu mendesak kepada badan pembuat undang-undang untuk segera mengesahkan RUU.Yang memang sudah lama disusun oleh para putra putra bangsa Indonesia sendiri. Kalau kita tetap membiarkan kondisi seperti ini tentu akan berdampak ketidak pastian hukum dan keadilan yang dirasakan oleh rakyat Indonesia. Sehingga tepat apa yang pernah difatwakan oleh Mahkamah Agung RI di tahun 1963, mengatakan bahwa WvS dan BW bukan lah Kitab Undang Undang tapi sudah menjadi Kitab Hukum . Karena kitab hukum posisi menjadi hukum tidak tertulis. Walaupun dalam praktek hukum maupun kalangan teori masih ada keberatan atas fatwa tersebut.Argumentasi mereka tidak mungkin sesuatu yang bersifat Wet dapat dijadikan Rechts hanya setingkat fatwa. Demikian pula mempertanyakan kekuatan sesuatu fatwa. Namun sebenarnya menurut penulis yang dimaksud adalah Kitab kitab hasil terjemahan perorangan itu yang dimaksud bukan WvS dan BW (karena memang sudah tidak dapat digunakan lagi akibat generasi sekarang sudah tidak dapat menguasai bahasa Belanda apalagi memahami dokmatik hukum nya, Serta literatur literatur yang aslinya sudahlah juga banyak terjemahan.Belum lagi kondisi kualitas di setiap jenjang pendidikan semakin melemah salah satu kondisi nya banyak yang tidak dapat lagi menguasai bahasa asing. (**)

*Penulis adalah Pengamat Hukum di Sumatera Selatan

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button