Perjalanan Panjang KUHP Nasional
Oleh: H Albar Sentosa Subari*
Hari ini merupakan hari yang bersejarah bagi bangsa Indonesia, karena pada hari ini telah dilakukan sidang paripurna DPR RI tanggal 6 Desember 22 dengan agenda tunggal pengesahan RKUHP menjadi UU.
Perjalanan panjang penyusunan Rancangan tersebut sampai di sahkan nya menjadi UU hampir mendekati enam puluh tahun, yang telah silih berganti tim penyusun nya dari semua kalangan pakar dibidang ilmunya, terutama bidang ilmu hukum.
Sebut saja misalnya Prof. Sudarto, Prof.Muladi, Prof. Boy Marjono, Prof. Harkristuti serta Prof.Topo Santoso.
dan lain yang tidak dapat disebut satu persatu. Semoga menjadi amal ibadahnya.
Sebelum pengesahan didahului kata pengantar dari pihak pemerintah yang disampaikan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Dalam kata pengantar nya menteri hukum dan HAM, tentu penyusunan suatu perundang-undangan di negara majemuk memiliki multi kultural sangat lah sulit untuk mengambil suatu keputusan atau rumusan pasal pasal nya. Dengan demikian masih perlu dilakukan sosialisasi waktunya yang cukup panjang yaitu ditargetkan selesai 3 tahun yang salah satu metode dengan membuat buku buku sehingga dapat dijadikan referensi tutup menteri.
Namun baik menteri maupun wakil ketua DPR RI yang memimpin rapat paripurna tersebut mengatakan tidak menutup kemungkinan bagi yang kurang puas untuk melakukan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi.
Catatan sebelum diketok palu sidang fraksi Partai Keadilan Sosial walk out setelah instruksinya ditolak pimpinan sidang, yang mempersoalkan pasal penghinaan terhadap kepala negara.
Sebelum disahkan memang menurut catatan terakhir di dalam pembahasan di komisi 3 ada 14 pasal yang krusial.
Pasal pasal tersebut adalah tentang Hukum yang hidup, Pidana Mati, Penyerangan harkat martabat presiden, Pernyataan pemilikan kekuatan gaib, Dokter gigi yang melaksanakan praktek tanpa izin, Advokat curang, Unggas merusak kebun, Penghinaan tersebut pengadilan, Penodaan agama, penganiayaan hewan, Alat kontrasepsi dan pengguguran kandungan, Pengguguran kandungan, Penggelandangan serta Perzinaan, kohabitasi dan perkosaan.
Menurut komisi 3 sebelum dibawa ke paripurna, dari semua persoalan diatas sudah diakomodasi mereka.
Aliansi Jurnalistik Indonesia menyangsikan pasal dalam KUHP yang baru ini bisa mempidana wartawan yang menjalankan profesinya.
Ambil contoh saja misalnya pasal 2 RKUHP mengakui adanya hukum adat yang hidup di tengah komunitas masyarakat yang dapat digunakan sebagai acuan untuk mempidanakan seseorang, jika perbuatan itu tidak diatur dalam KUHP.
Pasal ini menurut penulis memang menimbulkan pertanyaan pertanyaan baik dari sisi asas legalitas sebagaimana diatur dalam pasal 1 KUHP yang lama yang memang saat pembuatan nya dilatar belakangi oleh aliran legisten, yang berdalih bahwa tidak ada pidana diluar UU
Sehingga menurut Prof.Muladi telah terjadi pergeseran makna legalitas tertutup menjadi legalitas terbuka, ini menimbulkan perdebatan.
Lain lagi dari sisi hukum yang hidup atau bahasa lainnya hukum adat, akan menimbulkan kekecewaan masyarakat adat seolah olah hukum adat menjadi tambahan atau mengisi kekosongan hukum seandainya tidak diatur dalam undang-undang. Padahal dalam konstitusi kita baik hukum tertulis dan hukum tidak tertulis adalah merupakan hukum dasar yang harus menjadi dasar pembuatan peraturan perundang-undangan di bawahnya.
Dengan adanya ketentuan ini tentu meletakkan hukum adat atau hukum tidak tertulis yang sama sama hukum positif dilecehkan keberadaan nya. Dan ini memang pola berfikir pembuat undang-undang yang berpandangan legalitas tertutup itu. Mustinya tanpa harus mendudukkan hukum adat sebagai hukum pelengkap. (**)
*Penulis adalah pengamat hukum di Sumatera Selatan