Sekilas Tentang Hoaks
Oleh: H. Albar Sentosa Subari*
Berita bohong atau yang lebih populer sebagai Hoaks ( hoax) saat ini menjadi permasalahan serius dalam masyarakat berbagai negara ( jadi bukan hanya di Indonesia).
Sebagai data pada tahun 2021, misalnya, Kementerian Komunikasi dan Informasi ( Kominfo) Indonesia telah melakukan pemutusan akses terhadap 565.449 konten negatif dan melakukan penertiban klarifikasi terhadap informasi yang tidak tepat ( hoax debunking) terhadap 1.773 isu Hoaks.
Okeh karena pada masa itu sedang merebak pandemi covid – 19 ( Kominfo secara khusus telah menangani 730 Hoaks yang terkait covid 19 yang sengaja disebar untuk mendis informasi masyarakat.
Apalagi menjelang tahun politik nanti memasuki tahun 2024 , menurut asumsi kita akan meningkat dari biasanya.
Pertanyaan nya apakah itu merupakan perbuatan kriminal baik menurut Undang Undang Nomor 1 tahun 1946 maupun undang undang nomor 1 tahun 23 ( Kitab Undang Undang Hukum Pidana) yang akan berlaku efektif tahun 2026 yang akan datang.
Artinya, politik hukum di Indonesia telah mengkriminalisasi perbuatan penyebaran berita bohong ( Hoaks).
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita mencobanya mengkaji secara selintas tentang hal itu.
Awalnya perbuatan ini diatur dalam Pasal 14 dan Pasal 15 UU No. 1 tahun 1946.
Dengan disahkannya KUHP pada awal Januari 23, maka ketentuan dalam pasal 14 dan Pasal 15 UU no 1 tahun 1946 pada tahun 2026 mendatang akan diganti dengan ketentuan Pasal 263 dan Pasal 264 KUHP 2023.
Kita tidak akan mengupas secara khusus Pasal 14 dan Pasal 15 UU no 1 tahun 1946: karena ketentuan ini meninggalkan debat di kalangan ilmu hukum baik secara teoritis maupun praktis.
Contoh kasus yang melibatkan isu tentang keaslian dari ijazah yang dimiliki seseorang.
Joel Feinberg yang dikutip dalam Vidya ( 2023) mengatakan bahwa menyebarkan berita bohong seharusnya dikonstruksikan sebagai suatu bentuk hasutan tidak langsung. Artinya perbuatan yang salah adalah menghasut orang lain untuk menciptakan kerusuhan dengan menyebarkan berita Hoaks.
Hak ini sejalan dengan pandangan dan batasan kebebasan berekpresi. Kebebasan berekpresi pembenaran bagi seseorang untuk menyampaikan pendapat yang belum teruji kebenarannya adalah aktualisasi diri dan untuk menemukan kebenaran dari pendapat tersebut oleh karena suatu pernyataan yang tidak benar sekali pun dibenarkan selama tidak merugikan kepentingan pribadi, kepentingan publik dan kepentingan keamanan nasional ( lihat Seno Adji, Perkembangan Delik Pers di Indonesia).
KUHP 2023 tidak lagi mencantumkan unsur kesengajaan dalam rumusan pasal. Perancang KUHP bertolak bahwa asas tiada tindak pidana tanpa kesalahan merupakan bagian dari asas legalitas yang harus dicantumkan secara jelas dalam Undang-undang ( Arief, Bunga rampai kebijakan hukum pidana).
Disini lain KUHP memisahkan konsep tindak pidana dengan pertanggungjawaban pidana sehingga kesalahan dipandang sebagai unsur utama dari pertanggungjawaban pidana ( ibid)
Pasal 36 ayat (2) KUHP 2023 dibatasi mengenai pertanggung jawaban pidana hanya perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sedangkan perbuatan yang dilakukan dengan kealpaan dalam rumusan pasal harus ditegaskan adanya unsur kealpaan.
Sehingga dalam memutuskan seseorang telah melakukan suatu perbuatan menyebarkan berita bohong atau Hoaks; pelaku harus mengetahui bahwa yang ia sebarkan merupakan suatu kebohongan dan ia memiliki pengetahuan bahwa akan ada akibat bahaya yang serius dari perbuatannya. (**)
*Penulis adalah ketua JPM Sriwijaya-Sumsel to