HUMANIORA
Pancasila Sebagai Paradigma Ilmu Hukum
Oleh: H. Albar Sentosa Subari*
Pancasila sebagaimana dapat dilihat pada rumusan nya maupun nilai nilai yang terkandung di dalamnya, telah berbicara secara mendasar tentang konsep Tuhan, alam dan manusia Indonesia dalam kesatuan utuh.
Relevansi nya dengan penempatan Pancasila sebagai paradigma hukum Indonesia, dapat kita cermati melalui pemahaman terhadap hakekat pengertian sila sila Pancasila ( Notonegoro, 1971 dalam Sudjito 2012) sebagai berikut;
Sila pertama; Ketuhanan Yang Maha Esa, mengandung pengertian dak keyakinan adanya Tuhan Yang Maha Esa, Pencipta alam semesta beserta isinya. Sebagai sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi sumber pokok nilai nilai kehidupan bangsa Indonesia, menjiwai dan mendasari serta membimbing perwujudan Kemanusiaan yang adil dan beradab, penggalang persatuan Indonesia yang telah membentuk Negara Republik Indonesia yang berdaulat penuh yang bersifat kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan guna mewujudkan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia ( Darmodihardjo, 1979).
Sila Kedua: Kemanusiaan yang adil dan beradab.Kemanusiaan berasal dari kata mutiara, yaitu makhluk berbudi yang memiliki potensi pikir, rasa, karsa dan cipta. Karena potensi ini manusia menduduki martabat tinggi. Dengan ajal budinya, manusia menjadi berkebudayaan. Dengan Budi nurani nya manusia menyadari nilai nilai, norma norma. Dengan kemanusiaan yang adil dan beradab, setiap warga negara dijamin haknya serta kebebasan nya yang menyangkut hubungan dengan Tuhan, dengan orang orang, dengan negara sesuai dengan hak asasinya ( idem)
Kata kata ” kemanusiaan yang adil dan beradab” juga mengisyaratkan konsep manusia yang menyatu dengan alam, sosial, maupun Tuhannya, yang senantiasa menjalin hubungan atas dasar prinsip pansubjektivitas. Inilah manusia yang beradab, manusia yang bersikap adil, baik pada diri sendiri, sosial, alam pun Tuhan nya, suatu konsep manusia yang jauh berbeda dari faham individual – liberalisme..
Sila ketiga: Persatuan Indonesia.
Persatuan Indonesia adalah perwujudan dari pada faham kebangsaan Indonesia yang dijiwai oleh Ketuhanan Yang Maha Esa serta Kemanusiaan yang adil dan beradab ( idem).
Keharusan menempatkan sila pertama dan sila kedua sebagai bingkai Persatuan Indonesia, menunjukkan adanya karakter holistik faham kebangsaan Indonesia itu, sekaligus penolakan terhadap faham etnisisma dan etnosentrisme ( Jacob dalam Sudjito).
Sila ke empat: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
Sila ini mengisyaratkan adanya konsep bahwa rakyat atau wakil wakil rakyat dalam menjalankan kekuasaan nya harus dipimpin oleh kebijaksanaan, dengan penuh rasa tanggung jawab, baik secara vertikal kepada Tuhan Yang Maha Esa maupun secara horizontal kepada seluruh rakyat Indonesia, dan tidak sekali kali atas dasar kekuatan maupun legalitas formal.
Sudjito mengatakan suatu kebijaksanaan secara filosofis akan muncul apabila manusia cinta kepada kebenaran. Semakin dekat manusia dengan sumber kebenaran absolut yaitu Tuhan Yang Maha Esa, maka dia akan semakin bijaksana.
Sika kelima; Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Keadilan sosial berarti keadilan yang berlaku dalam masyarakat di segala bidang kehidupan, baik materil maupun spiritual. Nyatalah, bahwa keadilan itu bukan keadilan formal, suatu keadilan yang lahir karena perundang-undangan, melainkan keadilan yang dikaitkan dengan habitat sosial nya, yaitu masyarakat Indonesia dalam bingkai keadilan yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Betapa jelas, konsep keadilan Pancasila berbeda dengan konsep keadilan positivisme, dan justru berpadanan dengan karakter realistik maupun teistik ilmu hukum berparadigma holistik ( Sudjito, 2007).
Pandangan dunia ( world view) tentang Tuhan, alam dan manusia Indonesia di dalam Pancasila di atas telah mengakar dalam hidup dan kehidupan bangsa Indonesia. The founding father telah berhasil menggali nilai nilai luhur tersebut, untuk kemudian mengkristalkannya dalam sebuah rumusan sebagai Dasar Negara yaitu Pancasila.
Maka, sangat terbuka bukan merupakan keniscayaan untuk menjadikan Pancasila sebagai paradigma holistik ilmu hukum Indonesia, karena nilai nilai luhur itu telah mengakar, diyakini kebenarannya, dan telah menjadi konsensus nasional untuk dijadikan pedoman dalam segala aktivitas kehidupan berbangsa dan bernegara. (**)
Relevansi nya dengan penempatan Pancasila sebagai paradigma hukum Indonesia, dapat kita cermati melalui pemahaman terhadap hakekat pengertian sila sila Pancasila ( Notonegoro, 1971 dalam Sudjito 2012) sebagai berikut;
Sila pertama; Ketuhanan Yang Maha Esa, mengandung pengertian dak keyakinan adanya Tuhan Yang Maha Esa, Pencipta alam semesta beserta isinya. Sebagai sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi sumber pokok nilai nilai kehidupan bangsa Indonesia, menjiwai dan mendasari serta membimbing perwujudan Kemanusiaan yang adil dan beradab, penggalang persatuan Indonesia yang telah membentuk Negara Republik Indonesia yang berdaulat penuh yang bersifat kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan guna mewujudkan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia ( Darmodihardjo, 1979).
Sila Kedua: Kemanusiaan yang adil dan beradab.Kemanusiaan berasal dari kata mutiara, yaitu makhluk berbudi yang memiliki potensi pikir, rasa, karsa dan cipta. Karena potensi ini manusia menduduki martabat tinggi. Dengan ajal budinya, manusia menjadi berkebudayaan. Dengan Budi nurani nya manusia menyadari nilai nilai, norma norma. Dengan kemanusiaan yang adil dan beradab, setiap warga negara dijamin haknya serta kebebasan nya yang menyangkut hubungan dengan Tuhan, dengan orang orang, dengan negara sesuai dengan hak asasinya ( idem)
Kata kata ” kemanusiaan yang adil dan beradab” juga mengisyaratkan konsep manusia yang menyatu dengan alam, sosial, maupun Tuhannya, yang senantiasa menjalin hubungan atas dasar prinsip pansubjektivitas. Inilah manusia yang beradab, manusia yang bersikap adil, baik pada diri sendiri, sosial, alam pun Tuhan nya, suatu konsep manusia yang jauh berbeda dari faham individual – liberalisme..
Sila ketiga: Persatuan Indonesia.
Persatuan Indonesia adalah perwujudan dari pada faham kebangsaan Indonesia yang dijiwai oleh Ketuhanan Yang Maha Esa serta Kemanusiaan yang adil dan beradab ( idem).
Keharusan menempatkan sila pertama dan sila kedua sebagai bingkai Persatuan Indonesia, menunjukkan adanya karakter holistik faham kebangsaan Indonesia itu, sekaligus penolakan terhadap faham etnisisma dan etnosentrisme ( Jacob dalam Sudjito).
Sila ke empat: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
Sila ini mengisyaratkan adanya konsep bahwa rakyat atau wakil wakil rakyat dalam menjalankan kekuasaan nya harus dipimpin oleh kebijaksanaan, dengan penuh rasa tanggung jawab, baik secara vertikal kepada Tuhan Yang Maha Esa maupun secara horizontal kepada seluruh rakyat Indonesia, dan tidak sekali kali atas dasar kekuatan maupun legalitas formal.
Sudjito mengatakan suatu kebijaksanaan secara filosofis akan muncul apabila manusia cinta kepada kebenaran. Semakin dekat manusia dengan sumber kebenaran absolut yaitu Tuhan Yang Maha Esa, maka dia akan semakin bijaksana.
Sika kelima; Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Keadilan sosial berarti keadilan yang berlaku dalam masyarakat di segala bidang kehidupan, baik materil maupun spiritual. Nyatalah, bahwa keadilan itu bukan keadilan formal, suatu keadilan yang lahir karena perundang-undangan, melainkan keadilan yang dikaitkan dengan habitat sosial nya, yaitu masyarakat Indonesia dalam bingkai keadilan yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Betapa jelas, konsep keadilan Pancasila berbeda dengan konsep keadilan positivisme, dan justru berpadanan dengan karakter realistik maupun teistik ilmu hukum berparadigma holistik ( Sudjito, 2007).
Pandangan dunia ( world view) tentang Tuhan, alam dan manusia Indonesia di dalam Pancasila di atas telah mengakar dalam hidup dan kehidupan bangsa Indonesia. The founding father telah berhasil menggali nilai nilai luhur tersebut, untuk kemudian mengkristalkannya dalam sebuah rumusan sebagai Dasar Negara yaitu Pancasila.
Maka, sangat terbuka bukan merupakan keniscayaan untuk menjadikan Pancasila sebagai paradigma holistik ilmu hukum Indonesia, karena nilai nilai luhur itu telah mengakar, diyakini kebenarannya, dan telah menjadi konsensus nasional untuk dijadikan pedoman dalam segala aktivitas kehidupan berbangsa dan bernegara. (**)
*Penulis adalah Ketua Jaringan Panca Mandala (JPM) Sriwijaya-Sumatera Selatan