HUMANIORA

Pemilu Dan Putusan PHPU

Oleh:  H. Albar Sentosa Subari*

Sesuai dengan ketentuan yang ada, di luar putusan tidak dapat diterima,. Maka MK juga dapat memutuskan permohonan ditolak atau permohonan diterima.
Apabila dalam persidangan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan tidak beralasan, amar putusan menyatakan permohonan ditolak. Demikian pula sebaliknya, dalam hal majelis berpendapat bahwa permohonan terbukti beralasan, amar putusannya menyatakan permohonan di kabulkan dan selanjutnya Mahkamah Konstitusi menyatakan membatalkan hasil perhitungan suara yang diumumkan oleh KPU .
Intisari dari beberapa putusan MK tentang sengketa pemilu ( kepala daerah), yang mempengaruhi hasil pemilu BUKAN hanya kesalahan perhitungan, tetapi juga kesalahan atau pelanggaran dalam proses sehingga hal itu juga berpengaruh pada bentuk putusan lainnya.
Dalam perkembangan nya putusan bukan saja ; tidak dapat diterima, dikabulkan dalam arti membatalkan keputusan komisi pemilu dan menetapkan perhitungan suara yang benar, serta ditolak, yaitu jika permohonan tidak beralasan.
Akan tetapi, kini putusan bisa memerintahkan Perhitungan Suara Ulang dan Pemungutan Suara Ulang. Hal ini dimaksudkan untuk menegakkan keadilan SUBTANTIP dan untuk memberi manfaat dalam penegakan demokrasi dan konstitusi.
Mahkamah Konstitusi tidak ingin dipasung oleh kebenaran prosedural yang bisa menghilangkan kebenaran Substantif. Hal tersebut juga dimaksudkan untuk perlindungan terhadap demokrasi dan konstitusi.
Pertimbangan hukum MK, secara materiil telah terjadi Pelanggaran ketentuan pemilu yang berpengaruh terhadap persoalan perolehan suara yang bertentangan dengan konstitusi, khususnya pelaksanaan pemilihan umum secara demokratis, terbuka secara sah dan meyakinkan, sehingga oleh karena nya mereka yang terbukti melakukan pelanggaran tidak boleh diuntungkan kan oleh pelanggaran-pelanggaran nya dan sebaliknya pihak yang lain tidak boleh dirugikan.
Mahkamah Konstitusi juga menyatakan bahwa MK tidak dapat dipasung hanya oleh ketentuan undang-undang yang ditafsirkan secara sempit, yakni bahwa Mahkamah Konstitusi hanya boleh menilai hasil pemilihan umum dan melakukan perhitungan suara ulang dari berita acara atau rekapitulasi yang dibuat secara resmi oleh KPU, sebab kalau hanya berpedoman pada hasil perhitungan suara formal tidak mewujudkan kebenaran materiil sehingga akan sulit ditemukan keadilan; menegakkan keadilan subtantip dan memberikan manfaat dalam penegakan demokrasi dan konstitusi, Mahkamah Konstitusi dapat memerintahkan pemungutan ulang dan/ atau perhitungan suara ulang.
Pada beberapa putusannya, MK berpandangan telah terjadi Pelanggaran pelanggaran SISTEMATIS, TERSTRUKTUR dan MASIF.
Pada putusan nya juga disinggung ada nya pelanggan yang Signifikan dan Terstruktur sehingga menciderai konsitusi, demokrasi dan hak hak warga negara ( Pasal 18 ayat 4 dan Pasal 22 E ayat 1 UUD 1945 serta peraturan perundang-undangan lainnya yang tidak dibenarkan terjadi di negara hukum Republik Indonesia.
Mahkamah konstitusi menyatakan bahwa dalam mengadili perkara, MK tidak hanya merujuk pada objek formal perselisihan pemilu, melainkan Mahkamah Konstitusi harus menggali dan menemukan kebenaran hukum dan keadilan sesuai dengan alat bukti dan keyakinan hakim. Dalam upaya mewujudkan keadilan prosedural dan keadilan subtantip, serta asas manfaat demi supremasi konstitusi, hukum dan demokrasi. Mahkamah Konstitusi telah menilai seluruh keterangan para pihak, bukti bukti surat, dan saksi saksi di persidangan sesuai dengan tugas dan fungsi Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal konstitusi dan demokrasi serta perlindungan hak hak asasi manusia.
Perselisihan Hasil Pemilihan Umum adalah perselisihan antara KPU dan Peserta Pemilu mengenai penetapan perolehan suara hasil pemilihan umum secara nasional. Perselisihan penetapan perolehan suara hasil pemilihan umum secara nasional ini adalah perselisihan penetapan perolehan suara yang dapat memenuhi perolehan kursi peserta pemilu.
Dalam beberapa kasus dapat kita lihat sebagai dasar gugatan antara lain:
Pertama, kesalahan dalam pendaftaran pemilih;
Kedua, adanya kecurangan ( khusus nya money politics;
Ketiga, penyimpangan birokrasi dan intimidasi
Keempat, dan lain sebagainya sesuai dengan kasus kasus yang terjadi. Beberapa contoh kasus yang pernah dialami oleh pemilu yang bisa dicatat. Pada tahun 1999 pelanggaran administrasi ( termasuk tata cara pemilu) diselesaikan oleh KPU/PPI, khusus untuk pelanggaran kampanye, pengawas pemilu punya sejumlah wewenang menangani pelanggaran ( misalnya peringatan atau menghentikan kampanye). Pemilihan umum tahun 2004 wewenang untuk menyelesaikan pelanggaran administrasi dipegang oleh KPU/KPUD, sedang pengawas pemilu hanya mengawasi dan meneruskan laporan kepada KPU/KPUD. Pengalaman 2004 membuktikan bahwa banyak laporan pelanggaran administrasi yang diteruskan oleh pengawas pemilu TIDAK ditangani oleh KPU/KPUD atau setidaknya tidak ada laporan bagaimana penyelesaiannya. Pada saat itu juga tidak ada mekanisme yang jelas bagaimana KPUP/KPUD menangani laporan pelanggaran administrasi dan bentuk keputusan nya. Oleh sebab itu ke depan dibuat ketentuan khusus mengenai Penyelesaian Pelanggaran administrasi ini serta standar operasional prosedur nya. Tentu kita masih banyak belajar dari negara negara yang sudah sukses melaksanakan pemilihan umum yang jujur adil serta beradab. Apalagi kita Indonesia bangsa dan negara yang berdasarkan Pancasila sebagai ideologi negara tentu harus dikonkretkan dalam perilaku bagi seluruh komponen bangsa Indonesia sendiri. Kalau bukan kita siapa lagi yang akan menghargai sebagai mahluk paling sempurna di ciptakan oleh Allah SWT. (**)

*Penulis adalah ketua JPM Sriwijaya Sumsel.

Related Articles

Back to top button