HUMANIORA

Perkembangan Desa Sebagai Kesatuan Masyarakat Adat

OLeh: H. Albar Sentosa Subari*
Istilah Desa , di Sumatera Selatan baru dikenal sejak berlaku Undang Undang Nomor 5 tahun 74 dan undang undang nomor 5 tahun 79, sebelum dikenal dengan istilah DUSUN.
Namun dua istilah tersebut mempunyai kesamaan makna yaitu menggambarkan komunitas masyarakat hukum adat yang mendiami wilayah atau teritorial tertentu.
Di zaman kesultanan maupun di era pemerintahan kolonial, dikenal berbagai istilah yang menggambarkan kesatuan masyarakat hukum adat. Sebelum kesultanan Palembang menggunakan istilah lain; Prof. Amrah Muslimin SH guru besar ilmu hukum administrasi negara fakultas hukum universitas Sriwijaya dalam bukunya Perkembangan marga dan dusun menjadi desa dan kelurahan menyebutkan bahwa sebelum tahun 1760, istilah yang digunakan oleh masyarakat dan dipakai juga oleh sarjana Barat adalah antara lain dengan sebutan Petulai, Sumbai , Tiuh, dan lain sebagainya.
Namun di dalam piagam piagam kesultanan Palembang menggunakan istilah MARGA. ( Lihat Van Royen dalam Amrah Muslimin). Jadi artinya istilah Marga itu berasal dari kesultanan Palembang bukan asli dari masyarakat dusun saat kesultanan memasuki pedalaman Sumatera Selatan dengan maksud berbagai kepentingan. Terlepas dari itu, di zaman pemerintahan kolonial, istilah yang digunakan juga mengalami perkembangan yaitu apakah akan menggunakan istilah Marga atau Dusun untuk menyebut nama dari kesatuan masyarakat hukum adat khususnya di wilayah Sumatera Selatan.
Pada mulanya pemerintah kolonial Belanda menjadi DUSUN sebagai kesatuan masyarakat hukum adat. Dengan alasan bahwa dengan dusun di jadikan komunitas masyarakat hukum adat akan mempermudah dalam pengawasan dengan memanfaatkan sekelompok Anggota masyarakat menjadi pemimpin di wilayah masing masing.
Salah satu motivasi pemerintahan kolonial Belanda adalah untuk mendapatkan hasil bumi yang melimpah di pedalaman Sumatera Selatan sebagai komoditi perdagangan internasional khususnya rempah rempah yang memang saat itu negara negara barat sebut saja misalnya Spanyol, Portugal, Inggris dan Belanda mencari tanah jajahan dengan menggunakan pimpinan informal di sana.
Dalam kenyataan menjadi kan dusun sebagai kesatuan masyarakat hukum adat mendapat kendala, antara lain tidak semua orang ( pimpinan informal), patuh dan taat kepada Belanda. Karena masih memiliki perasaan emosional di antara mereka. Di samping itu secara ekonomis banyak mengeluarkan biaya serta luasnya wilayah pengawasan Belanda. Atas nasihat para ahli Belanda sebut saja misalnya Van vollenhoven, , Van Royen dan lain lain mengusulkan agar yang dijadikan kesatuan masyarakat hukum adat bukan dusun tapi MARGA ( istilah modern nya Serikat dusun/ desa). Dengan dijadikan Marga sebagai kesatuan masyarakat hukum adat ( baca IGOB), akan mempermudah Belanda melakukan kontrol terhadap masyarakat hukum adat tentu dengan menggunakan pimpinan informal masing masing ( penulis tidak menyebutkan istilah yang digunakan sebagai pimpinan informal itu? Masuk era kemerdekaan tempat masa pemerintahan orde baru disahkan UU no 5 tahun 74 Jo Undang Undang Nomor 5 tahun 79. Yang memandang marga sebagai kesatuan masyarakat hukum adat ( IGOB) tidak sesuai dengan alam kemerdekaan ( wawasan kebangsaan).
Berlanjut dengan keluarnya UU no 22 tahun 1999, UU nomor 32 dan Undang Undang tentang DESA mempunyai makna yang sama bahwa Desa adalah kesatuan masyarakat hukum adat (MHA). Atau disebut dengan nama lain. Misalnya Desa Adat ( desa penanggiran Muaraenim; tempat penulis Kuliah Kerja Nyata 1977). Ataupun juga desa adat Minanga dan lain sebagainya.
Tentu semuanya itu tidak otomatis menjadi kan desa sebagai komunitas masyarakat hukum adat, karena harus melalui pembentukan PERDA Kabupaten dan Kota, selama itu belum ada selama itu pula masyarakat hukum adat belum mempunyai kedudukan yang jelas. Karena secara regulasi perundang-undangan eksistensi masyarakat hukum adat harus mempunyai dasar hukum yang jelas.( Normatif)
Secara konstitusional masyarakat hukum adat diakui keberadaanya dapat ditelusuri didalam pasal 18 B ayat 2 UUD 45, negara mengakui keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak hak tradisional sepanjang masih ada dan sesuai dengan perkembangan zaman dan asas negara kesatuan Republik Indonesia serta diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Keempat persyaratan tersebut harus di buktikan baik secara empirik maupun normatif ( Perda).
Kalau kita dalami lagi di dalam undang undang mahkamah konstitusi maupun peraturan mahkamah konstitusi bahwa masyarakat hukum adat baru bisa menjadi pihak yang memiliki status legal standing untuk melakukan uji materiil terhadap UU yang merugikan mereka ( lihat kasus Rempang Galang Batam) merasa harus sudah memiliki dasar hukum normatif yaitu peraturan daerah. Cukup berat bagi pemerintah daerah kabupaten untuk merealisasikan nya entah sampai kapan itu terlaksana tergantung pada kemauan politik elit daerah. (**)
*Penulis adalah Ketua JPM Sriwijaya-Sumatera Selatan

Related Articles

Back to top button