Hari Penegakan Kedaulatan Negara
Oleh: H Albar Sentosa Subari*
Pada tanggal 24 Pebruari 2022 Presiden Republik Indonesia mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) nomor 2 tahun 2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara.
Hari Penegakan Kedaulatan Negara ditetapkan pada tanggal 1 Maret . Tanggal tersebut dihubungkan dengan serangan umum 1 Maret 1949.
Sebagai dasar pertimbangan dari aspek philosopy, sosiologis dan Juridis telah disusun Naskah Akademik oleh Dinas Kebudayaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan telah diseminarkan di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, dengan menghadirkan tokoh tokoh yang berkompeten.
Namun sayangnya Keppres nomor 2 tahun 2022 ini menimbulkan polemik di kalangan sejarawan dan politisi.
Terlepas dari polemik tersebut kita tidak akan ikut ikutan untuk membahas.
Pada kesempatan kali ini kita hanya ingin menurunkan sekelumit dari sisi historis disekitar peristiwa tersebut sebagai berikut:
Pada tanggal 19 Desember 1948 , Belanda melancarkan agresinya yang kedua terhadap negara Republik Indonesia yang baru berumur tiga tahun beberapa bulan.
Agresi kedua ini dilakukan setelah secara sepihak Belanda mengatakan tidak terikat lagi kepada hasil Pernjanjian Renville yang ditandatangani oleh Republik Indonesia dan Pemerintah Belanda pada tanggal 17 Januari 1948.
Di tengah serunya pesawat terbang Belanda yang menyerang ibukota Yogyakarta, segera dilakukan sidang kabinet yang memutuskan pemerintah akan tetap tinggal di dalam kota. Dengan alasan karena untuk berangkat ke luar kota diperlukan pengawal sebanyak dua batalion. Dan dengan tetap di dalam kota para pemimpin Republik Indonesia masih dapat melakukan berbagai upaya diplomasi.
Namun resiko akan ditawan oleh Belanda. Dan memang nyata nya Ir Soekarno dan Hatta beserta pimpinan lainnya ditawan Belanda dan diungsikan ke Pulau Bangka.
Mengutip dari buku Lukman Hakiem, keputusan penting lainnya yang diambil ialah memberikan mandat kepada Menteri Kemakmuran Mr.Sjafruddin Prawiranegara, yang ketika itu sudah berada di Bukittinggi, untuk membentuk pemerintahan darurat di Sumatera.Mandat yang lain diberikan kepada Dr. Soedarsono, LN. Palar dan Mr. Maramis di New Delhi India, untuk membentuk pemerintahan darurat jika ikhtiar Sjafruddin Prawiranegara di Sumatera tidak berhasil.
Sjarifuddin Prawiranegara yang tidak pernah tahu ada mandat kepada nya untuk membentuk pemerintahan darurat,sore tanggal 19 Desember 1948 segera setelah mendengar siaran radio mengenai didudukinya ibu kota Yogyakarta dan ditawannya para pemimpin Republik Indonesia. Sjafruddin Prawiranegara menemui Mr. Teuku Muhammad Hasan (pimpinan komisariat Pemerintah pusat untuk Sumatera),guna menyampaikan pendapatnya tentang kemungkinan terjadinya kevakuman pemerintahan yang akan menimbulkan dampak negatif baik di dalam maupun di luar negeri,dan karena itu perlu dibentuk sebuah pemerintahan untuk menyelamatkan negara yang sedang berada dalam bahaya.
Maka pada tanggal 19 Desember 1948 sore, tercapai kesepakatan antara Sjafruddin Prawiranegara dan T.M.Hasan untuk membentuk sebuah pemerintahan darurat.
Disepakati pula pemerintahan darurat ini akan dipimpin oleh Sjafruddin Prawiranegara dengan TM Hasan sebagai wakil nya.
Kesepakatan ini menjadi embrio dari pemerintahan darurat yang tiga hari kemudian dilaksanakan di Halaban.
Menurut Prof Jimly Asshiddiqie, dalam keadaan darurat, tidak perlu dipersoalkan apakah ada atau tidak surat mandat dari Soekarno ke pada Sjarifuddin Prawiranegara untuk mengambil alih pemerintahan sementara dalam keadaan darurat
Juga tidak perlu dipersoalkan apakah Mr.Mohammad Roem mewakili pemimpin yang dipimpin oleh Soekarno atau pemerintahan yang dipimpin Sjafruddin Prawiranegara. Yang penting, dipahami Roem mewakili Pemerintahan Republik Indonesia, Secara juridis, selama Soekarno dan Hatta berada dalam tahanan Presiden Republik Indonesia yang disebut istilah Ketua PDRI dipegang oleh Sjafruddin Prawiranegara yang baru diserahkan terimakan kembali kepada Soekarno selaku Presiden pada tanggal 13 Juli 1949.
*Penulis adalah Pengamat Hukum di Sumatera Selatan