Nagari dan Marga Serupa Tapi Tak Sama
Oleh: H Albar Sentosa Subari*
Keberadaan Nagari dan Marga sebagai kesatuan masyarakat hukum adat yang bergaris geneologis, secara hukum diakui sah oleh pemerintah Indonesia.
Dalam penjelasan Pasal 18 UUD 1945 (naskah asli) ditegaskan bahwa, dalam teritorial negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende landschappen dan volkgemenschappen, seperti Desa di Jawa dan Bali, Nagari di Minangkabau, Dusun dan Marga di Palembang dan sebagainya..
Justru itu, keberadaan Nagari yang jumlahnya 543 buah dan Marga di Sumatera Selatan 188 (lihat data terakhir sebelum tahun 1983).
Setelah dikeluarkan Undang Undang no 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Barat sepakat menjadi jorong jorong ada di nagari menjadi pemerintah desa.Sedangkan di Daerah Provinsi Sumatera Selatan melalui Surat Keputusan Gubernur Sumatera Selatan nomor 142 , yang dijadikan pemerintahan desa adalah marga tadi dari 188 marga menjadi 2900 lebih desa , sedangkan di Sumatera Barat jumlah desa menjadi 3518 buah yang diatur dalam Perda nomor 7 tahun 1981.
Dengan demikian baik Nagari maupun Marga tidak mempunyai peranan ganda lagi. Salah satu fungsinya yang hilang, yaitu penyelenggaraan pemerintahan terendah beralih kepada pemerintahan desa yang baru terbentuk.
Melalui Perda nomor 13 tahun 1983 mengusulkan kepada Pemerintah pusat agar nagari sebagai kesatuan masyarakat hukum adat tetap diakui sebagai kesatuan masyarakat hukum adat.
Sama halnya dengan Provinsi Sumatera Selatan bahwa pengakuan marga sebagai kesatuan masyarakat hukum adat secara include sudah dicantumkan secara jelas pada butir ketiga di dalam Surat Keputusan Gubernur Sumatera Selatan nomor 142/KPTS/III/1983, tanggal 24 Maret 1983 yang efektif berlaku 1 April 1983.
Selama pemerintahan desa, kita tak obahnya dalam pituah adat Minangkabau: mendapek labiah bak Kailangan. Artinya, kita memang banyak menerima bantuan desa, 3518 di Sumatera barat dan 2900 di Sumatera Selatan.
Dalam kehidupan sehari-hari terlihat, misalnya transaksi hak tanah Ulayat adat kaum (tanah Ulayat Marga)tidak mengindahkan lagi aturan yang berlaku menurut hukum adat. Mereka beranggapan tidak perlu lagi meminta rekomendasi Ninik mamak pemangku adat, lembaga kerapatan adat nagari, di Sumatera Selatan tidak lagi melibatkan pemimpin pemimpin informal.
Cukup meminta rekomendasi Pemerintah Desa, peranan pimpinan informal sudah dikesampingkan, dan secara berangsur angsur ajaran Adat pun ikut dilupakan.Kemenakan tidak lagi barajo ka mamak.
Bedanya kita Sumatera Selatan dengan Sumatera Barat adalah ketika berlakunya undang-undang nomor 22 tahun 1999.
Pemerintah daerah Provinsi Sumatera Barat mengambil gerak cepat menyesuaikan dengan regulasi perundangan undangan dimaksudkan yaitu gerakan kembali ” bernagari” yaitu tidak saja kembali ke pemerintahan nagari, tetapi kembali banagari.
Dengan kembali banagari, bukan kembali ke tempo dulu, tetapi kembali berpedoman kepada adat yang dimiliki sebagai dasar dalam hidup dan kehidupan sebagai mahluk sosial.
Lain kita di Sumatera Selatan saat berlakunya undang-undang nomor 22 tahun 1999, tidak mengambil langkah langkah seperti di Sumatera Barat.
Sibuk berpikir dan berwacana untuk mencabut SK Gubernur 142 tersebut.
Konsep pikiran seperti itu masih ada dibenak generasi muda, padahal semuanya itu sudah diperbaharui dengan lahirnya undang-undang desa yang baru nomor 6 2014.
*Penulis adalah Pengamat Hukum di Sumatera Selatan