Hakim Selaku Perumus Hukum
Oleh: H Albar Sentosa Subari*
Segala hukum, baik yang tertulis yaitu yang termuat dalam pelbagai peraturan undang-undang, maupun yang tidak tertulis, yaitu berdasarkan atas adat kebiasaan seperti hukum adat, selalu membuka kemungkinan ditafsirkan secara bermacam macam.
Tergantung dari tafsiran inilah sebetulnya bagaimana isi dan maksud sebenarnya dari suatu peraturan hukum harus dianggap.
Kalau diingat bahwa pada akhirnya penafsiran dari Hakimlah yang mengikat kedua belah pihak, maka dapat dikatakan bahwa Hakim adalah perumus dari hukum yang berlaku.( Ingat ” layon teori” dari Prof. Djojodigoeno). Peraturan itu mati seperti mayat, baru berfungsi setelah dimainkan atau dijadikan hukum oleh Hakim .
Dengan demikian pekerjaan Hakim mendekati suatu pekerjaan pembuag undang undang selaku pembuat hukum.
Tetapi hanya mendekati saja, pada hakekatnya tidak mungkin Hakim dicap sebagai pencipta hukum, seperti setengah orang berpendapat.
Kalau Mr. Ter Hajar selalu berkata, bahwa isi tertentu dari hukum adat secara resmi dapat dianggap ada, apabila ada beberapa putusan dari penguasa, terutama para Hakim yang selalu berturut turut menganggap adanya hukum adat, maka ucapan ter Haar inipun tidak saja diartikan selalu anggapan bahwa dengan putusan putusan Hakim dan lain lain penguasa itu tercipta hukum adat, melainkan hanya terumus ini hukum adat.
Mr. Holleman malahan bertolak belakang dengan Ter Haar, bahwa hukum adat tidaklah semata mata tergantung adanya putusan putusan dari Hakim atau penguasa lainnya yang menganggap adanya Hukum Adat tertentu.
Kesan polemik ini terletak bahwa perbedaan dari dua pendapat ini terletak pada soal titik berat, yang menurut Ter Haar dalam menemukan isi hukum adat terletak pada putusan putusan dari para Hakim dan penguasa lainnya, sedangkan Mr. Holleman tidak mau tau adanya titik berat itu.
Dari uraian di atas , tentang adanya hubungan yang sangat erat antara Hakim dan Hukum, bahwa sudah sewajarnya apabila para sarjana hukum menjadi hakim juga agar kalangan pengadilan setelah diisi oleh orang orang yang berahli hukum ini , dapat menunaikan tugasnya sebaik baiknya selaku penegak hukum.
Bukan sebaliknya menjadikan lembaga pengadilan tempat mencari keadilan bagi masyarakat, dijadikan tempat sarana mencari keuntungan pribadi dengan melakukan jual beli keadilan, sebagaimana baru saja terjadi operasi tertangkap tangan di lembaga Mahkamah Agung.
Tepat sekali apa yang tercantum dalam hadis Rasulullah Saw, bahwa dari tiga hakim, hanya satu yang masuk surga karena fungsinya memutuskan perkara.(**)
*Penulis adalah pengamat hukum di Sumatera Selatan