HUMANIORA
Penghapusan Pemerintahan Marga, Konstitusionalkah

Oleh: H. Albar Sentosa Subari*
Bicara masalah ke marga an , tidak habis habisnya untuk di dalami terutama bagi kalangan akademisi. Karena seolah olah ada kontradiksi di dalam pemahaman tentang itu, baik dikalangan intelektual apalagi di kalangan awam. Pada kesempatan ini kita tidak akan mengupas sehingga terjadi nya kontradiksi satu sama lain, karena nanti timbul pro dan kontra. Tapi penulis akan membahas nya dari sisi normatif sehingga diharapkan tidak ada perbedaan persepsi. Kalau pun ada tentu di bahas juga dari sisi normatif. Bukan sisi sejarah, emosional dan lain sebagainya. Secara Juridis keberadaan MARGA baik dari sisi sebagai kesatuan masyarakat hukum adat dan sebagai sistem pemerintahan. Terutama untuk memantapkan sistem pemerintahan terendah, kolonial Belanda membuat aturan aturan tentang kedudukan status hukum Institusi Marga dan Kepala Marga.
Tahun 1919 keluarlah Inlandsche Gemeente Ordonansi untuk Karesidenan Palembang dengan statsblaad 1919 nomor 814 yang kemudian disempurnakan lagi staatslaad 1922 nomor 436.
Ketentuan ini berlangsung sampai Indonesia merdeka 17 Agustus 1945 , di dalam Undang-undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945 yang disahkan sehari setelah proklamasi, masih tetap memberlakukan hukum sebelum kemerdekaan termasuk IGO dan IGOB di atas. Guna menghindari ke vakum an hukum.
Secara tertulis jelas dimuat dalam Pasal II Aturan Peralihan yang berbunyi
Segala badan negara dan peraturan yang ada.masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang Undang Dasar ini.(lihat naskah asli Sekretariat Jenderal MPR RI, 2017.)
Untuk menjawab atau perintah konstitusi beberapa peraturan turunannya sudah dilakukan oleh badan legislatif dan eksekutif. Salah satunya adalah lahirnya Undang-undang nomor 5 tahun 1974 Jo undang undang nomor 5 tahun 1979.
Saat itu asas nasionalisme yang sangat gencar sehingga yang berbau kolonialisme Belanda harus diubah, demi kepentingan nasional. Salah satu nya Pasal 18 UUD 1945, yang masih exist, Zelf besturente landschappen, dianggap keberadaan nya didukung oleh Peraturan Hindia Belanda yaitu IGO dan IGOB. Hal ini dapat kita baca dalam penjelasan undang-undang nomor 5 tahun 1979 ayat 4 berbunyi. Keadaan pemerintah desa sekarang ini adalah akibat dari warisan Undang Undang lama yang pernah ada, yang mengatur desa yaitu Inlandsche Gemeente Ordonansi (stbld 1906 no 83, yang berlaku untuk Jawa dan Madura dan Inlandsche Gemeente Ordonansi Buitengewesten , ( stbl 1983 no 490 Jo stbld 1938 no 681) yang berlaku untuk luar Jawa dan Madura.
Kesan inilah yang menimbulkan anggapan bahwa IGO dan IGOB banyak disalah gunakan, dianggap tidak sesuai lagi dengan undang undang nasional. Namun disisi lain Undang Undang Nomor 5 tahun 1979 tetap menghormati kedudukan etnis masyarakat hukum adat yang ada di Nusantara ini
Lihat penjelasan pasal 6 bagian umumnya. Undang undang ini tetap mengakui adanya kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum adat, adat istiadat dan kebiasaan kebiasaan yang masih hidup sepanjang menunjang kelangsungan pembangunan ketahanan nasional.
Memasuki era reformasi eksistensi masyarakat hukum adat tetap dipertahankan keberadaannya lihat pasal 18 B ayat 2 UUD NKRI 1945 Negara mengakui dan menghormati kesatuan kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak hak tradisional sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.
Roh pengakuan masyarakat hukum adat sebelum era Reformasi baik dalam undang-undang nomor 5 tahun 1979, maupun peraturan perundang-undangan lainnya terutama dalam Permendagri nomor 11 tahun 1984 Jo Permendagri nomor 3 tahun 1979 jis Surat Keputusan Gubernur Sumatera Selatan nomor 142/KPTS/III/1983 tanggal 24 Maret 1983 yang mulia efektif berlaku 1 April 1983 tetap mengakui Kesatuan Masyarakat Hukum Adat di Sumatera Selatan yang selanjutnya disebut LEMBAGA ADAT ( lihat butir bagian tiga SK tersebut.)
Jadi sangat berkelebihan kalau ada orang yang menyalahkan pemerintahan saat itu. Seolah olah dengan SK tersebut semuanya menjadi mati ataupun lumpuh, karena tokoh Pasirah diberhentikan.
Padahal sebenarnya Marga yang asli sebelum adanya intervensi pihak luar baik dari kalangan bangsa Indonesia sendiri apalagi kebangsaan asing, itu sudah ada yang namanya MARGA, sebagai mana konsep para pendiri negara yang tercantum dalam naskah asli pasal 18 Undang Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945.
Dan diperjelas lagi oleh pasal 18 B ayat 2 UUD NKRI tahun 1945. Naskah perubahan konstitusi era Reformasi.
Masalah sekarang bagaimana mengembalikan potensi masyarakat hukum adat tersebut jawabnya jadikan mereka sebagai subjek pembangunan bukan jadi objek pembangunan yang hanya sekedar bahan diskusi, seminar baik ditingkat lokal maupun nasional.
Simpulan, secara konstitusional penghapusan sistem pemerintahan marga , sudah merupakan amanah konstitusi.
Untuk meningkatkan potensi sumberdaya alam dan sumber daya manusia nya perlu diperhatikan oleh pelaksana negara baik lembaga legislatif dan eksekutif mempunyai sikap perhatian terhadap masyarakat hukum adat dengan dijadikan sebagai subjek pembangunan bukan objek pembangunan yang hanya bahan pencitraan saja.
Tahun 1919 keluarlah Inlandsche Gemeente Ordonansi untuk Karesidenan Palembang dengan statsblaad 1919 nomor 814 yang kemudian disempurnakan lagi staatslaad 1922 nomor 436.
Ketentuan ini berlangsung sampai Indonesia merdeka 17 Agustus 1945 , di dalam Undang-undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945 yang disahkan sehari setelah proklamasi, masih tetap memberlakukan hukum sebelum kemerdekaan termasuk IGO dan IGOB di atas. Guna menghindari ke vakum an hukum.
Secara tertulis jelas dimuat dalam Pasal II Aturan Peralihan yang berbunyi
Segala badan negara dan peraturan yang ada.masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang Undang Dasar ini.(lihat naskah asli Sekretariat Jenderal MPR RI, 2017.)
Untuk menjawab atau perintah konstitusi beberapa peraturan turunannya sudah dilakukan oleh badan legislatif dan eksekutif. Salah satunya adalah lahirnya Undang-undang nomor 5 tahun 1974 Jo undang undang nomor 5 tahun 1979.
Saat itu asas nasionalisme yang sangat gencar sehingga yang berbau kolonialisme Belanda harus diubah, demi kepentingan nasional. Salah satu nya Pasal 18 UUD 1945, yang masih exist, Zelf besturente landschappen, dianggap keberadaan nya didukung oleh Peraturan Hindia Belanda yaitu IGO dan IGOB. Hal ini dapat kita baca dalam penjelasan undang-undang nomor 5 tahun 1979 ayat 4 berbunyi. Keadaan pemerintah desa sekarang ini adalah akibat dari warisan Undang Undang lama yang pernah ada, yang mengatur desa yaitu Inlandsche Gemeente Ordonansi (stbld 1906 no 83, yang berlaku untuk Jawa dan Madura dan Inlandsche Gemeente Ordonansi Buitengewesten , ( stbl 1983 no 490 Jo stbld 1938 no 681) yang berlaku untuk luar Jawa dan Madura.
Kesan inilah yang menimbulkan anggapan bahwa IGO dan IGOB banyak disalah gunakan, dianggap tidak sesuai lagi dengan undang undang nasional. Namun disisi lain Undang Undang Nomor 5 tahun 1979 tetap menghormati kedudukan etnis masyarakat hukum adat yang ada di Nusantara ini
Lihat penjelasan pasal 6 bagian umumnya. Undang undang ini tetap mengakui adanya kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum adat, adat istiadat dan kebiasaan kebiasaan yang masih hidup sepanjang menunjang kelangsungan pembangunan ketahanan nasional.
Memasuki era reformasi eksistensi masyarakat hukum adat tetap dipertahankan keberadaannya lihat pasal 18 B ayat 2 UUD NKRI 1945 Negara mengakui dan menghormati kesatuan kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak hak tradisional sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.
Roh pengakuan masyarakat hukum adat sebelum era Reformasi baik dalam undang-undang nomor 5 tahun 1979, maupun peraturan perundang-undangan lainnya terutama dalam Permendagri nomor 11 tahun 1984 Jo Permendagri nomor 3 tahun 1979 jis Surat Keputusan Gubernur Sumatera Selatan nomor 142/KPTS/III/1983 tanggal 24 Maret 1983 yang mulia efektif berlaku 1 April 1983 tetap mengakui Kesatuan Masyarakat Hukum Adat di Sumatera Selatan yang selanjutnya disebut LEMBAGA ADAT ( lihat butir bagian tiga SK tersebut.)
Jadi sangat berkelebihan kalau ada orang yang menyalahkan pemerintahan saat itu. Seolah olah dengan SK tersebut semuanya menjadi mati ataupun lumpuh, karena tokoh Pasirah diberhentikan.
Padahal sebenarnya Marga yang asli sebelum adanya intervensi pihak luar baik dari kalangan bangsa Indonesia sendiri apalagi kebangsaan asing, itu sudah ada yang namanya MARGA, sebagai mana konsep para pendiri negara yang tercantum dalam naskah asli pasal 18 Undang Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945.
Dan diperjelas lagi oleh pasal 18 B ayat 2 UUD NKRI tahun 1945. Naskah perubahan konstitusi era Reformasi.
Masalah sekarang bagaimana mengembalikan potensi masyarakat hukum adat tersebut jawabnya jadikan mereka sebagai subjek pembangunan bukan jadi objek pembangunan yang hanya sekedar bahan diskusi, seminar baik ditingkat lokal maupun nasional.
Simpulan, secara konstitusional penghapusan sistem pemerintahan marga , sudah merupakan amanah konstitusi.
Untuk meningkatkan potensi sumberdaya alam dan sumber daya manusia nya perlu diperhatikan oleh pelaksana negara baik lembaga legislatif dan eksekutif mempunyai sikap perhatian terhadap masyarakat hukum adat dengan dijadikan sebagai subjek pembangunan bukan objek pembangunan yang hanya bahan pencitraan saja.
Untuk pemerintahan Kabupaten dan Kota segera menyusun Peraturan Daerah masing masing tentang eksistensi dan perlindungan masyarakat hukum adat. Bekerja sama dengan pihak akedemisi yang paham soal itu. Tuntutan penyusunan peraturan daerah dimaksudkan adalah amanah konstitusi khususnya pasal 18 B ayat 2 UUD NKRI tahun 1945. Dalam bahasa Mahkamah Konstitusi adalah Legal standing dari masyarakat hukum adat sehingga bisa menjadi pihak yang dapat beracara di Pengadilan umum maupun peradilan khusus. Kalau tidak semua akan selalu dikesampingkan keberadaan masyarakat hukum adat itu. (**)
*Penulis adalah ketua pembina adat Sumatera Selatan