HUMANIORA
Kemerdekaan Bukan Tujuan Akhir
Oleh: H. Albar Sentosa Subari*
Awal kemerdekaan, disaat Soekarno -Hatta menyatakan kemerdekaan Indonesia, atas nama bangsa Indonesia, dunia memandangnya dengan sinis.
Sindir Belanda : ” itu baru pernyataan niat bukan kemerdekaan, ” Mana mampu dia, sindir dunia.
Mereka lupa Soekarno justru menghardik mereka, ” Inggris kita linggis, Amerika kita setrika. Sebuah kemarahan yang tak terbendung.
Maka, saat sekutu berniat menginjakan kakinya kembali ke tanah air, di lapangan Ikada Jakarta ( sekarang Monas), Bung Karno dengan sepenuh hati meminta rakyat berjuang sampai titik darah penghabisan. Kalau perlu kita mati semuanya untuk kemerdekaan ini.
Sebagaimana dapat kita kutip dari karya Dr. Djohan Effendi, berjudul Menemukan Makna Hidup, Bung Karno dengan nada bergetar meminta” wahai bangsa Indonesia! Andaikan kalian berikan kepada ku seribu orang tua, aku akan sanggup mencabut barang Semeru sampai ke akar akarnya, namun bila kalian berikan kepada ku sepuluh pemuda, sungguh aku akan menggoncang kan dunia,” . ( Halaman 236).
Dari seruan yang penuh semangat perjuangan itu , dapat kita maknai bahwa kemerdekaan bagi proklamator bukanlah tujuan akhir dari segala perjuangan dan pengorbanan.
Justru kemerdekaan, dalam kata kata Bung Karno hanyalah ” jembatan emas” , guna mengantarkan bangsa ini meraih cita cita tertinggi nya yaitu: membangun Indonesia modern, yaitu Indonesia yang beradab, adil, terbuka dan demokratis.
Indonesia yang bersatu dalam keragaman, dan di dalam keragaman itu mereka dapat menemukan persatuan.
Sejajar dengan kalimat puitik dari Bung Hatta, Di atas segala lapangan tanah air aku hidup, aku gembira….. di mana kakiku menginjak bumi Indonesia, di sanalah tumbuh bibit cita cita yang kusimpan dalam dadaku ( ibid).
Bung Hatta dengan segala kearifan nya, mencoba berkata kepada seluruh komponen bangsa, bahwa, di sini hanya ada satu Tanah Air buat tempat kita semua hidup. Maka adalah sebuah kekeliruan bila menganggap ” kampung halaman”nya saja yang pantas ia cintai, dan bukan Indonesia yang satu dari Sabang sampai Merauke. Memang manusia pada hakekatnya, senantiasa bersifat kolot. Hatinya selalu tertambat kepada tradisi nya. Perasaan nya terlampau berat memihak apa yang lama, sehingga membuat tak mudah menerima yang baru. Cinta nya selalu terpaut pada kampung halaman nya sendiri ( Herbert Spencer, dalam Djohan Effendi, 237).
Pada galibnya, manusia memiliki kecenderungan untuk mengikuti apa yang dikehendaki dirinya sendiri dari pada memenuhi tuntutan masyarakatnya. Setiap pribadi, pada kenyataannya lebih suka menanyakan: apa yang telah saya peroleh, dari pada apa yang telah saya berikan.
Dalam konteks inilah pernyataan Bung Hatta di atas menjadi lebih bermakna ketika memasuki tujuh puluh delapan tahun usia proklamasi kemerdekaan kita.
Seandainya kedua proklamator tersebut hadir ditengah tengah kita sekarang ini, mungkin dapat diduga wajah ajan MURUNG, menyaksikan ancaman ancaman disintegrasi yang dihadapi bangsanya yang justru menjadi Thema perjuangan keduanya saat memproklamasikan negerinya dari tangan penjajah.
Namun, mudah mudahan keduanya cukup mafhum menerima kenyataan pahit ini.
Apalagi kesan kesan yang terlihat saat memasuki tahun politik ini. Banyak isu isu yang kurang sedap didengar. Mulai timbul isu isu negatif yang mengakibatkan perpecahan bangsa. Sebut saja misalnya terutama di media sosial baik cetak maupun media online, sering dihembuskan masalah, etnis, suku, agama, dan berbagai tuduhan ditujukan kepada seseorang maupun sekelompok orang. Hanya sekedar untuk memprovokasi setiap orang yang kurang pemahaman nya. Tentu ini perlu di STOP guna menjaga NKRI.
Wallahu a’lam.
Sindir Belanda : ” itu baru pernyataan niat bukan kemerdekaan, ” Mana mampu dia, sindir dunia.
Mereka lupa Soekarno justru menghardik mereka, ” Inggris kita linggis, Amerika kita setrika. Sebuah kemarahan yang tak terbendung.
Maka, saat sekutu berniat menginjakan kakinya kembali ke tanah air, di lapangan Ikada Jakarta ( sekarang Monas), Bung Karno dengan sepenuh hati meminta rakyat berjuang sampai titik darah penghabisan. Kalau perlu kita mati semuanya untuk kemerdekaan ini.
Sebagaimana dapat kita kutip dari karya Dr. Djohan Effendi, berjudul Menemukan Makna Hidup, Bung Karno dengan nada bergetar meminta” wahai bangsa Indonesia! Andaikan kalian berikan kepada ku seribu orang tua, aku akan sanggup mencabut barang Semeru sampai ke akar akarnya, namun bila kalian berikan kepada ku sepuluh pemuda, sungguh aku akan menggoncang kan dunia,” . ( Halaman 236).
Dari seruan yang penuh semangat perjuangan itu , dapat kita maknai bahwa kemerdekaan bagi proklamator bukanlah tujuan akhir dari segala perjuangan dan pengorbanan.
Justru kemerdekaan, dalam kata kata Bung Karno hanyalah ” jembatan emas” , guna mengantarkan bangsa ini meraih cita cita tertinggi nya yaitu: membangun Indonesia modern, yaitu Indonesia yang beradab, adil, terbuka dan demokratis.
Indonesia yang bersatu dalam keragaman, dan di dalam keragaman itu mereka dapat menemukan persatuan.
Sejajar dengan kalimat puitik dari Bung Hatta, Di atas segala lapangan tanah air aku hidup, aku gembira….. di mana kakiku menginjak bumi Indonesia, di sanalah tumbuh bibit cita cita yang kusimpan dalam dadaku ( ibid).
Bung Hatta dengan segala kearifan nya, mencoba berkata kepada seluruh komponen bangsa, bahwa, di sini hanya ada satu Tanah Air buat tempat kita semua hidup. Maka adalah sebuah kekeliruan bila menganggap ” kampung halaman”nya saja yang pantas ia cintai, dan bukan Indonesia yang satu dari Sabang sampai Merauke. Memang manusia pada hakekatnya, senantiasa bersifat kolot. Hatinya selalu tertambat kepada tradisi nya. Perasaan nya terlampau berat memihak apa yang lama, sehingga membuat tak mudah menerima yang baru. Cinta nya selalu terpaut pada kampung halaman nya sendiri ( Herbert Spencer, dalam Djohan Effendi, 237).
Pada galibnya, manusia memiliki kecenderungan untuk mengikuti apa yang dikehendaki dirinya sendiri dari pada memenuhi tuntutan masyarakatnya. Setiap pribadi, pada kenyataannya lebih suka menanyakan: apa yang telah saya peroleh, dari pada apa yang telah saya berikan.
Dalam konteks inilah pernyataan Bung Hatta di atas menjadi lebih bermakna ketika memasuki tujuh puluh delapan tahun usia proklamasi kemerdekaan kita.
Seandainya kedua proklamator tersebut hadir ditengah tengah kita sekarang ini, mungkin dapat diduga wajah ajan MURUNG, menyaksikan ancaman ancaman disintegrasi yang dihadapi bangsanya yang justru menjadi Thema perjuangan keduanya saat memproklamasikan negerinya dari tangan penjajah.
Namun, mudah mudahan keduanya cukup mafhum menerima kenyataan pahit ini.
Apalagi kesan kesan yang terlihat saat memasuki tahun politik ini. Banyak isu isu yang kurang sedap didengar. Mulai timbul isu isu negatif yang mengakibatkan perpecahan bangsa. Sebut saja misalnya terutama di media sosial baik cetak maupun media online, sering dihembuskan masalah, etnis, suku, agama, dan berbagai tuduhan ditujukan kepada seseorang maupun sekelompok orang. Hanya sekedar untuk memprovokasi setiap orang yang kurang pemahaman nya. Tentu ini perlu di STOP guna menjaga NKRI.
Wallahu a’lam.
Sebagai mana kata Herbert Spencer, manusia pada hakekatnya ” senantiasa bersifat kolot.” Hatinya selalu tertambat kepada tradisi nya. Perasaan nya terlampau memihak apa yang lama, sehingga membuat nya tak mudah menerima yang baru. Sehingga perlu dilakukan revolusi mental secara berkesinambungan, guna mencapai Indonesia melayani, Indonesia tertib, Indonesia bersih, Indonesia mandiri dan Indonesia bersatu. (**)
*Penulis adalah Koordinator JPM Sriwijaya-Sumatera Selatan