HUMANIORA
Peraturan Daerah tentang Tindak Pidana Adat
Oleh: H. Albar Sentosa Subari*
Undang Undang Nomor 1 tahun 2023 tentang Kitab Undang Undang Hukum Pidana mulai diberlakukan terhitung sejak tanggal diundangkan di dalam Lembaran Negara dan Tambahan Lembaran Negara tanggal 2 Januari 2023 setelah 3 tahun kemudian.
KUHP terdiri dari dua buku yaitu Aturan Umum ( Pasal 1 – Pasal 187.
Buku kedua; Tindak Pidana ( Pasal 188 – Pasal 624).
Pasal yang mengatur tentang eksistensi Tindak Pidana Adat ( hukum yang hidup dalam masyarakat) adalah Pasal 2 yang berbunyi:
Ayat (1). Ketentuan sebagaimana mana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam undang-undang ini.
Ayat (2). Hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dalam tempat hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam undang-undang ini dan sesuai dengan nilai nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas hukum umum yang diakui masyarakat bangsa bangsa.
Ayat (3) Ketentuan mengenai Tara cara dan kriteria Penetapan hukum yang hidup dalam masyarakat diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pengakuan Hukum Yang Hidup Dalam Masyarakat ( tindak pidana adat) untuk memenuhi rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dalam kenyataannya di beberapa daerah di tanah air, masih terdapat ketentuan hukum yang tidak tertulis, yang hidup dan diakui sebagai hukum di daerah yang bersangkutan, yang menentukan bahwa pelanggan atas hukum itu patut dipidana. Dalam hal ini hakim DAPAT ( huruf kapital oleh penulis) menetapkan sanksi berupa pemenuhan kewajiban adat setempat yang harus dilaksanakan oleh pelaku tindak pidana. Hal tersebut mengandung arti bahwa standar nilai nilai dan norma yang hidup dalam masyarakat setempat masih tetap dilindungi agar memenuhi rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat tertentu. Keadaan seperti itu tidak akan menggoyahkan dan tetap menjamin pelaksanaan asas legalitas serta larangan analogi yang dianut dalam undang-undang ini. ( Penjelasan Buku kesatu butir 4)
Di dalam penjelasan Pasal 1 ayat 1-2, Pasal 2 ayat 1 -3 bagian penjelasan pasal demi pasal;
Pasal 1 ayat (1). Ketentuan ini mengandung asas legalitas yang menentukan bahwa suatu perbuatan merupakan Tindak Pidana jika ditentukan oleh atau didasarkan pada peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan dalam ketentuan ini adalah Undang-undang dan PERATURAN DAERAH ( huruf kapital oleh penulis). Asas legalitas merupakan asas pokok dalam hukum pidana. Oleh karena itu, peraturan perundang-undangan yang mengandung ancaman pidana harus sudah ada sebelum tindak pidana dilakukan. Hal ini berarti bahwa ketentuan pidana tidak boleh berlaku surut.
Ayat (2). Yang dimaksud dengan analog adalah penafsiran dengan cara memberlakukan suatu ketentuan pidana terhadap kejadian atau peristiwa yang tidak diatur atau tidak disebutkan secara eksplisit dalam Undang-undang dan PERATURAN DAERAH ( huruf kapital oleh penulis) dengan cara menyamakan suatu mengumpamakan kejadian atau peristiwa tersebut dengan kejadian atau peristiwa lain yang telah diatur dalam Undang-undang dan PERATURAN DAERAH ( huruf kapital oleh penulis).
Pasal 2 ayat (1) Yang dimaksud dengan ” hukum yang hidup dalam masyarakat” adalah hukum adat yang menentukan bahwa seseorang yang melakukan perbuatan tersebut patut dipidana. Hukum yang hidup dalam masyarakat dalam pasal ini berkaitan dengan hukum hukum tidak tertulis yang masih berlaku dan berkembang dalam kehidupan masyarakat di Indonesia. Untuk memperkuat hukum yang hidup dalam masyarakat tersebut, PERATURAN DAERAH mengatur mengenai TINDAK PIDANA ADAT ( huruf kapital oleh penulis).
Ayat (2). Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan ” berlaku dalam tempat hukum itu hidup” adalah berlaku bagi setiap orang yang melakukan Tindak Pidana Adat di daerah tersebut.
Ayat ini mengandung pedoman dalam menetapkan hukum pidana adat keberlakuan nya diakui oleh Undang Undang ini.
Ayat (3) Peraturan Pemerintah dalam ketentuan ini merupakan pedoman bagi daerah dalam menetapkan hukum yang hidup dalam masyarakat dalam Peraturan Daerah.
Catatan Peraturan Pemerintah dimaksudkan diatas sudah selesai dalam waktu 2 tahun setelah undang undang no 1 tahun 2023 diundang.
Secara normatif Ketentuan mengenai eksistensi Dari Hukum Yang Hidup Dalam Masyarakat secara tegas didalam Pasal 597 KUHP
(1). Setiap orang yang melakukan perbuatan yang menurut hukum yang hidup dalam masyarakat dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang, diancam dengan pidana.
(2). Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berupa pemenuhan kewajiban adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) huruf f.
Penjelasan Pasal 597 KUHP Yang dimaksud dengan ” perbuatan yang menurut hukum yang hidup dalam masyarakat dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang” mengacu pada ketentuan Pasal 2 ayat (1).
KUHP terdiri dari dua buku yaitu Aturan Umum ( Pasal 1 – Pasal 187.
Buku kedua; Tindak Pidana ( Pasal 188 – Pasal 624).
Pasal yang mengatur tentang eksistensi Tindak Pidana Adat ( hukum yang hidup dalam masyarakat) adalah Pasal 2 yang berbunyi:
Ayat (1). Ketentuan sebagaimana mana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam undang-undang ini.
Ayat (2). Hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dalam tempat hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam undang-undang ini dan sesuai dengan nilai nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas hukum umum yang diakui masyarakat bangsa bangsa.
Ayat (3) Ketentuan mengenai Tara cara dan kriteria Penetapan hukum yang hidup dalam masyarakat diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pengakuan Hukum Yang Hidup Dalam Masyarakat ( tindak pidana adat) untuk memenuhi rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dalam kenyataannya di beberapa daerah di tanah air, masih terdapat ketentuan hukum yang tidak tertulis, yang hidup dan diakui sebagai hukum di daerah yang bersangkutan, yang menentukan bahwa pelanggan atas hukum itu patut dipidana. Dalam hal ini hakim DAPAT ( huruf kapital oleh penulis) menetapkan sanksi berupa pemenuhan kewajiban adat setempat yang harus dilaksanakan oleh pelaku tindak pidana. Hal tersebut mengandung arti bahwa standar nilai nilai dan norma yang hidup dalam masyarakat setempat masih tetap dilindungi agar memenuhi rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat tertentu. Keadaan seperti itu tidak akan menggoyahkan dan tetap menjamin pelaksanaan asas legalitas serta larangan analogi yang dianut dalam undang-undang ini. ( Penjelasan Buku kesatu butir 4)
Di dalam penjelasan Pasal 1 ayat 1-2, Pasal 2 ayat 1 -3 bagian penjelasan pasal demi pasal;
Pasal 1 ayat (1). Ketentuan ini mengandung asas legalitas yang menentukan bahwa suatu perbuatan merupakan Tindak Pidana jika ditentukan oleh atau didasarkan pada peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan dalam ketentuan ini adalah Undang-undang dan PERATURAN DAERAH ( huruf kapital oleh penulis). Asas legalitas merupakan asas pokok dalam hukum pidana. Oleh karena itu, peraturan perundang-undangan yang mengandung ancaman pidana harus sudah ada sebelum tindak pidana dilakukan. Hal ini berarti bahwa ketentuan pidana tidak boleh berlaku surut.
Ayat (2). Yang dimaksud dengan analog adalah penafsiran dengan cara memberlakukan suatu ketentuan pidana terhadap kejadian atau peristiwa yang tidak diatur atau tidak disebutkan secara eksplisit dalam Undang-undang dan PERATURAN DAERAH ( huruf kapital oleh penulis) dengan cara menyamakan suatu mengumpamakan kejadian atau peristiwa tersebut dengan kejadian atau peristiwa lain yang telah diatur dalam Undang-undang dan PERATURAN DAERAH ( huruf kapital oleh penulis).
Pasal 2 ayat (1) Yang dimaksud dengan ” hukum yang hidup dalam masyarakat” adalah hukum adat yang menentukan bahwa seseorang yang melakukan perbuatan tersebut patut dipidana. Hukum yang hidup dalam masyarakat dalam pasal ini berkaitan dengan hukum hukum tidak tertulis yang masih berlaku dan berkembang dalam kehidupan masyarakat di Indonesia. Untuk memperkuat hukum yang hidup dalam masyarakat tersebut, PERATURAN DAERAH mengatur mengenai TINDAK PIDANA ADAT ( huruf kapital oleh penulis).
Ayat (2). Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan ” berlaku dalam tempat hukum itu hidup” adalah berlaku bagi setiap orang yang melakukan Tindak Pidana Adat di daerah tersebut.
Ayat ini mengandung pedoman dalam menetapkan hukum pidana adat keberlakuan nya diakui oleh Undang Undang ini.
Ayat (3) Peraturan Pemerintah dalam ketentuan ini merupakan pedoman bagi daerah dalam menetapkan hukum yang hidup dalam masyarakat dalam Peraturan Daerah.
Catatan Peraturan Pemerintah dimaksudkan diatas sudah selesai dalam waktu 2 tahun setelah undang undang no 1 tahun 2023 diundang.
Secara normatif Ketentuan mengenai eksistensi Dari Hukum Yang Hidup Dalam Masyarakat secara tegas didalam Pasal 597 KUHP
(1). Setiap orang yang melakukan perbuatan yang menurut hukum yang hidup dalam masyarakat dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang, diancam dengan pidana.
(2). Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berupa pemenuhan kewajiban adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) huruf f.
Penjelasan Pasal 597 KUHP Yang dimaksud dengan ” perbuatan yang menurut hukum yang hidup dalam masyarakat dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang” mengacu pada ketentuan Pasal 2 ayat (1).
Dengan mengkaji ketentuan ketentuan pasal dan penjelasan nya baik pada ketentuan aturan umum maupun pasal tindak pidananya.
Maka di sini jelas bahwa PERATURAN DAERAH sangat diperlukan untuk kelancaran proses peradilan di Indonesia melalui kesediaan adanya Peraturan Daerah dimaksud.
Namun menurut penulis masih ada pertanyaan yang belum dijelaskan oleh pembuat undang-undang itu sendiri ( otentik interpretasi) tentang PERDA dimaksud. Apakah langsung dibuat oleh daerah kabupaten kota atau harus melalui peraturan daerah provinsi lebih dahulu. Karena secara empiris bahwa yang memiliki masyarakat hukum adat adalah Kabupaten dan Kota, bukan provinsi.
Namun kalau dilihat dari sisi administratif seperti harus ada dulu Perda provinsi sebagai induk perundangan undangan yang berlaku.( Tentu ini merupakan sisa masalah yang dihadapi). Apakah bisa nanti menunggu keputusan Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi.?
Khusus di Sumatera Selatan sebagai informasi bahwa , ketentuan kriteria Tindak Pidana Adat yang hidup dalam masyarakat telah tersusun Kompilasi Adat Istiadat di sepuluh kabupaten kota.( Sebelum pemekaran) yang dihasilkan oleh Dewan Penasehat dan Pembina Adat Istiadat Sumatera Selatan di tahun 2000.
Namun kompilasi tersebut belum di Perda kan. Khusus di kabupaten Banyuasin hal tersebut sudah mereka tingkat sebagai dasar hukum keberlakuan nya dengan peraturan daerah. (**)
Maka di sini jelas bahwa PERATURAN DAERAH sangat diperlukan untuk kelancaran proses peradilan di Indonesia melalui kesediaan adanya Peraturan Daerah dimaksud.
Namun menurut penulis masih ada pertanyaan yang belum dijelaskan oleh pembuat undang-undang itu sendiri ( otentik interpretasi) tentang PERDA dimaksud. Apakah langsung dibuat oleh daerah kabupaten kota atau harus melalui peraturan daerah provinsi lebih dahulu. Karena secara empiris bahwa yang memiliki masyarakat hukum adat adalah Kabupaten dan Kota, bukan provinsi.
Namun kalau dilihat dari sisi administratif seperti harus ada dulu Perda provinsi sebagai induk perundangan undangan yang berlaku.( Tentu ini merupakan sisa masalah yang dihadapi). Apakah bisa nanti menunggu keputusan Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi.?
Khusus di Sumatera Selatan sebagai informasi bahwa , ketentuan kriteria Tindak Pidana Adat yang hidup dalam masyarakat telah tersusun Kompilasi Adat Istiadat di sepuluh kabupaten kota.( Sebelum pemekaran) yang dihasilkan oleh Dewan Penasehat dan Pembina Adat Istiadat Sumatera Selatan di tahun 2000.
Namun kompilasi tersebut belum di Perda kan. Khusus di kabupaten Banyuasin hal tersebut sudah mereka tingkat sebagai dasar hukum keberlakuan nya dengan peraturan daerah. (**)
*Penulis Ketua Jejaring Panca Mandala Sriwijaya Sumatera Selatan