Peristiwa Menjelang Proklamasi
Oleh: H.Albar Sentosa Subari*
Detik detik mendekati pukul sepuluh tanggal 17 Agustus 1945, diwarnai berbagai peristiwa secara spontan dan menegangkan. Hal tersebut dikarenakan para pemuda berjaga jaga kalau kalau Jepang tiba tiba muncul, sebab ada perintah larangan dari Nishimura untuk menyatakan Proklamasi.
Berbarengan dengan itu pagi harinya Bung Karno demam, sehingga baru sekitar pukul sembilan tiga puluh dibangunkan untuk bersiap-siap, sambil menunggu kehadiran Bung Hatta lima menit sebelum pukul 10.00 Wib. Bung Hatta datang tepat waktu, langsung menemui Bung Karno.
Setelah Bung Karno menyampaikan pidato singkat, ketika sampai di bagian pembacaan teks Proklamasi pengeras suara macet. Belakangan pada tahun 1950, Yusuf Ronodipuro merekamnya di ruang kerja Bung Karno dan itulah yang hingga kini kita dengar dengan rasa penuh kebanggaan.
Upacara singkat yang sederhana itu dihadiri rakyat dan beberapa pemimpin bangsa.
Hari Jumat 17Agustus 1945 itu, masih dalam suasana bulan Ramadhan, kegiatan pasca proklamasi diisi dengan penyebarluasan teks proklamasi dan pamflet ke berbagai daerah.
Kantor berita Domei Bandung menerima teks proklamasi pukul 11.15, surat kabar Tjahaja Bandung pada malam hari yang kemudian menyulut Bandung lautan api. Jogjakarta menerimanya pada pukul 12.00 hari itu juga, yang kemudian dipancarkan ke Bukittinggi, dari Bukittinggi ke New Delhi yang meneruskan ke dunia luar.
Atas inisiatif mahasiswa dan pemuda dilakukan pembaca kembali teks Proklamasi oleh Bung Karno, pada pukul 19.30 lewat radio pemancar gelap milik Prof. Dr. Abdulrahman Saleh, disaksikan Bung Hatta, Subardjo, Iwa Kusumasumantri, dan beberapa tokoh lain.
Untuk melengkapi syarat berjalan roda pemerintahan, pada tanggal 18 Agustus 1945.
Lewat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia memulai sidangnya yang pertama. Rapat dimulai pukul 11.30, semula terjadwal 9.30. sDengan agenda membahas pengesahan Undang Undang Dasar. Dipimpin oleh Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta, masing masing sebagai ketua dan wakil ketua.
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang dibentuk Jepang tanggal 7 Agustus 1945 sekaligus hari pembubaran Badan Penyelidik Usaha Usaha Persiapan Kemerdekaan, beranggotakan 19 orang selain ketua dan wakil ketua, kemudian ditambah 6 orang lagi.
Sebelum sidang dimulai Bung Karno dan Bung Hatta meminta Ki Bagus Hadikusumo, KH Wachid Hasyim, Kasman Singodimedjo, Teuku Mohammad Hasan membahas rancangan UU yang dibahas oleh Panitia Sembilan tanggal 22 Juni 1945.
Lebih khusus lagi, mereka diharapkan membahas kalimat Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk pemeluknya. Ini dilakukan sebab ada keberatan dari para pemeluk agama lain. Beberapa anggota PPKI dari wilayah Timur seperti Dr. Sam Ratulangi wakil Sulawesi, Tadjoedin Noor dan Ir. Pangeran Noor dari Kalimantan, I. Ketut Pudja dari Nusa tenggara dan Latuharhary dari Maluku.
Selama 15 menit tepat mereka bertemu. Dicapai kata sepakat, demi kesatuan dan persatuan, kalimat itu dihapus.
Pukul 11.30 rapat dilangsungkan dan pukul 13.50 disahkan Rancangan dan Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia dengan Pancasila sebagai Dasar Negara yang terumus pada pembukaan UUD yang kemudian dikenal sebagai Undang Undang Dasar Negara Indonesia 1945. Kemudian hari , tanggal 18 Agustus ditetapkan sebagai Hari Konstitusi.
Sebagai sejarah Pembukaan UUD 1945 ini dengan penghapusan 7 kata tersebut berasal dari hasil kerja Panitia Sembilan yang disahkan didalam sidang BPUPKI tanggal 22 Juni 1945, yang oleh Muhammad Yamin dinamai Piagam Jakarta. Panitia Sembilan itu terdiri dari Soekarno dan Mohammad Hatta sebagai ketua dan wakil ketua dengan 7 anggota yaitu AA Maramis, Abikoesno Tjokrosoejono, Abdulkahar Muzakir, Haji Agus Salim, Ahmad Subardjo, Wachid Hasyim, dan Mohammad Yamin.
Selanjutnya sidang PPKI dibuka kembali pukul 15.30 agenda pengesahan Bung Karno dan Bung Hatta sebagai Presiden dan wakil Presiden. Secara aklamasi disetujui semua anggota PPKI atas usul Otto Iskandar Dinata.
Dan sidang memutuskan bahwa tanggal 22 Agustus 1945 kelak nama PPKI berubah menjadi Panitia Kemerdekaan.
Meminjam istilah sejarawan Sartono Kartodirdjo, catatan itu sekedar mengingatkan akan perlunya kesadaran sejarah , sense of history, terutama bagi yang tidak memperoleh kesempatan mengalami pergolakan menentukan bagi kembalinya hak kebebasan dan hak untuk memilih sebuah manusia yang tidak terjajah. Lihat St. Sularto dan D. Rini Yuniarti, Konflik Dibalik Proklamasi, 2010.
Catatan singkat ini merupakan sekilas tentang detik detik dan sesudah Proklamasi, tujuan akhirnya sekedar mengingatkan mata rantai proses kelahiran sebuah bangsa dan negara Indonesia.
Guna mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sekarang kita peringati tanggal 17 Agustus 2023 yang ke 78 tahun kemerdekaan Indonesia. (**)
*Penulis adalah Ketua JPM Sriwijaya-Sumsel