HUMANIORA

Ketika Hukum Menciderai Keadilan

Oleh: H.Albar Sentosa Subari*

Keadilan adalah sebuah ide kebijakan yang luhur, pembicaraan tentang keadilan lebih dekat dengan diskursus etis dan moral.
Sementara pembicaraan hukum lebih dekat dengan diskursus politik, tentang kekuasaan, yang di dalamnya terkandung unsur-unsur diri dan posisi diri dalam lingkungan sosial. ( Amin Mudzakir, kompas, 28 Februari 2010).
Secara konstitusional, sebagaimana yang disebutkan dalam UUD 1945 Pasal 28 D, menyatakan: bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Dasar konstitusional ini sangat jelas, setiap warga negara memiliki hak dan perlakuan yang sama di muka hukum.
Tidak ada diskriminasi dalam proses penegakan hukum.
Negara dalam hal ini aparat penegak hukum memiliki kewajiban dalam memberikan keadilan hukum yang tidak diskriminatif. Baik untuk orang besar atau berkuasa maupun orang kecil yang tak memiliki akses kekuasaan.
Hak yang sama di depan hukum juga ditegaskan dalam UU HAM 39/1999 pasal 3; setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapatkan kepastian hukum dan perlakuan yang sama di muka hukum.
Pendek kata, keadilan hukum adalah hak setiap warganegara yang harus dijamin dan dilindungi oleh negara.
Masalah keadilan ( kesebandingan) merupakan masalah yang rumit, persoalan yang dapat dijumpai hampir di setiap masyarakat. Hukum memiliki dua tugas utama yaitu keadilan bagi semua masyarakat dan mencapai kepastian hukum. Diantara sekian banyaknya pemikiran dan konsep keadilan, salah satu konsep keadilan yang cukup relevan adalah sebagai mana yang dikonsepsikan oleh Roscoe Pound., mengatakan bahwa keadilan bukan semata mata persoalan yuridis semata, akan tetapi masalah sosial yang dalam banyak disoroti oleh sosiologi hukum.
Pound membedakan antara legal justice dan social justice ( Simon dalam Umar Sholehudin, 2011).
Sedangkan keadilan adalah suatu keselarasan hubungan antara manusia dalam masyarakat dan antar manusia dengan masyarakat nya yang sesuai dengan moral yang berlaku di dalam masyarakat. Ini kita kenal dengan keadilan sosiologis; keadilan yang didasarkan pada kebiasaan, budaya, pola perilaku dan hubungan antara manusia dalam masyarakat.
Keadilan hukum bagi masyarakat tidak sekedar keadilan yang bersifat formal -prosedural; keadilan yang didasarkan pada aturan aturan normatif yang rigid yang jauh dari moralitas dan nilai nilai kemanusiaan.
Lawan dari keadilan formal – prosedural adalah keadaan substantif, yakni keadilan yang ukurannya bukan kuantitatif sebagai mana yang muncul dalam keadilan formal, tapi keadilan kualitatif yang didasarkan pada moralitas publik dan nilai nilai kemanusiaan dan mampu memberikan kepuasan dan kebahagiaan bagi masyarakat.

Keadilan itu abadi tidak temporal. Keadilan itu bukan hasil penalaran tapi hasil produk nurani.
Menurut Rifyal Ke’bah, yang dikutip Achmad Chili, adil tidaknya sebuah peraturan perundang-undangan atau putusan hakim sangat ditentukan oleh representasi moral justice dan social justice di dalam nya ( idem)
Maksudnya para penegak hukum tentu nya tidak hanya terpaku pada aturan normatif saja. Untuk mendapatkan keadilan substantif, para penegak hukum tidak hanya sekedar menjadi corong UU, tetapi dituntut untuk menemukan hukum.
Dalam pandangan Satjipto Rahardjo, disebutkan sebagai hukum progresif. Hukum progresif tidak menerima hukum sebagai institusi yang mutlak serta final, melainkan sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi pada kepentingan manusia, bukan kepentingan hukum itu sendiri. Hukum progresif menolak tradisi analytical yurispruden ( analisis yang berdasarkan pada teks hukum atau perundangan undangan) dan berbagai paham dengan aliran legal realism.
Keadilan tidak hanya dapat diperoleh di ruang ruang peradilan hukum positif, namun juga ada di ruang ruang kehidupan masyarakat.
Sehingga akan muncul adanya keadilan hukum empiris, yakni keadilan yang dibangun atas nilai nilai norma norma sosial masyarakat yang sudah ada atau berlaku sejak lama ( yang sering kita simbul dalam kalimat kearifan lokal).
Keadilan Restoratif merupakan konsep baru yang diperkenalkan PBB dalam menyelesaikan persoalan-persoalan di sejumlah negara. Keadilan restoratif ini termuat dalam pasal 9 Konvensi PBB tentang Keadaan Restoratif, dan telah diterapkan di sejumlah negara di dunia seperti di Inggris, Austria, Finlandia, Jerman, AS, Kanada, Australia, Afrika Selatan, Gambia, Jamaika, dan Kolombia.
Artidjo Alkostar, Indonesia bisa saja membuat prosedur berbeda dengan negara negara lain. Misalnya mengambil atau mengadopsi nilai kearifan hukum lokal ( sosiologis), seperti yang tersebar di masyarakat atau suku di Nusantara ini ( catatan Komnas HAM ada 1.027 suku bangsa di Indonesia).
Keadilan restoratif adalah keadilan yang diperoleh seseorang atau sekelompok orang bukan dari proses peradilan formal, tetapi diperoleh dari mekanisme sosial kemasyarakatan, yakni mediasi atau musyawarah kekeluargaan. Antar pihak yang bersengketa, saling memaafkan dan menyelesaikan persoalan secara damai di luar pengadilan. (**)

*Penulis adalah ketua JPM Sriwijaya Sumatera Selatan

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button