HUMANIORA

Perkembangan Marga Sebagai Bentuk Pemerintahan

Oleh: H Albar Sentosa Subari*

Bicara masalah ” MARGA” , kita harus jeli melihat perkembangan nya, apalagi dari sisi suatu sistem pemerintahan marga yang pernah ada.
Prof. H.Amrah Muslimin,SH membaginya beberapa phase, dan hal yang sama di dalam bukunya H.M.Arlan Ismail,SH ke dalam phase yaitu:
1. Asal usul
2. Marga dan Sriwijaya
3. Zaman kesultanan Palembang
4. Zaman Hindia Belanda
5. Zaman pendudukan Jepang dan kemerdekaan.
Kalau kita lihat perkembangan nya marga sebagai sistem pemerintahan, adalah berawal dari masuknya kesultanan Palembang ke pedalaman Palembang (uluan) yang diperkirakan di tahun 1485 semenjak Adipati Karang Widara berkuasa dengan cara memasuki wilayah pedalaman melalui empat muara sungai Musi.
Pada daerah daerah yang dimasukinya ia memberi gelar gelar kehormatan yaitu ” Pangeran”.
Gelar Pangeran tampak nya dilakukan sebagai upaya menanamkan pengaruh nya dengan jalan ” angken saudara”, karena pangeran adalah gelar keluarga kesultanan.
Disini sudah terjadi pergeseran yaitu mengganti kan ikatan marga sebagai kesatuan masyarakat hukum geneologis, menjadi ikatan teritorial.
Karena desakan ekonomi, sedangkan sungai satu satunya alat perhubungan, maka daerah uluan berangsur angsur mengakui kekuasaan Penguasa Palembang.
Daerah uluan tidak tunduk secara kekerasan atau mengirim tentara. Karena Raja tidak mempunyai tentara yang teratur ( lihat Roo de Faile , 1927)
Namun dilakukan dengan cara pendekatan. Dengan cara membentuk daerah daerah misalnya ” daerah Sikap”. misalnya daerah Belida, Pegagan dan Banyuasin, wilayah ini tidak mempunyai pemerintahan sendiri seperti di uluan lainnya, tetapi diperintah langsung oleh pegawai yang ditunjuk oleh Raja Palembang. Mereka dibebaskan dari membayar pajak, tetapi diberi tugas tertentu seperti daerah Belida yang wajib menyediakan laskar untuk suatu peperangan.
Daerah Kepungutan seperti Musi Ilir, Lematang Ilir, Ogan ulu, komuring Ilir dan ulu, dilakukan dengan cara persahabatan dan perundingan perundingan dengan kepala adat setempat, dimana daerah tersebut bebas memperdagangkan hasil bumi ke Palembang, tetapi sebagai imbalan mereka diwajibkan membayar pajak dan sewaktu waktu dapat diminta tenaga kerja.
Pada akhirnya dengan sistem pemberian gelar, Raja telah berangsur angsur menanamkan pengaruh nya di bidang ekonomi, keuangan.
Kini didaerah kepungutan yang dahulunya dikenal pemerintahan lokal (karena faktor geneologis), karena alasan ” persahabatan”lambat laun mengalami perubahan yang tidak dapat dielakkan, dimana kemerdekaan yang telah turun temurun menjadi berkurang.
Selain itu juga dalam banyak hal ada diantara kepala marga terkesan menjadi orang perantara, karena telah diposisikan sebagai orang luar masyarakat itu.
Sejak masuknya kolonial, dimana ditandai berakhir kekuasaan kesultanan Palembang, kolonial menerus strategi yang telah dibangun Raja Palembang
Pada tahun 1854 kolonel De Brauw atas perintah Residen Van den Bosch e mengadakan Kodifikasi ( kompilasi istilah penulis) terhadap aturan aturan yang termuat dalam piagam piagam Ratu Sinuhun dan Candi Walang. Upaya ini suatu kesempatan untuk mengadakan penyesuaian demi kepentingan dan kelangsungan Pemerintahan kolonial Belanda. Apa yang menjadi hak dan kekuasaan Sultan Palembang, kini berubah menjadi hak dan kekuasaan Pemerintahan kolonial Belanda, yang dalam hal ini adalah Residen.
Didorong oleh kebutuhan maka Residen Palembang mengeluarkan ” Circulaire” nomor 326 tanggal 27 Juli 1873 menetapkan nama nama jabatan di dalam MARGA serta tata cara pemilihan serta syarat syarat nya yaitu
1. Pasirah untuk kepala marga
2. Pembarab untuk kepala dusun dimana Pasirah berdomisili.
3. Krio untuk kepala dusun
4. Prowatin untuk seluruh jabatan dalam lingkungan marga.
Dengan syarat laki laki dan bisa baca tulis huruf Rencong atau Ka-ga-nga.
Zaman Jepang hampir tidak ada perubahan yang mendasar, hanya penggantian istilah menjadi bahasa Jepang.
Setelah merdeka tepat dengan berlakunya undang-undang nomor 5 tahun 1979 jo Kepmenperindag nomor 11 tahun 1984 jis Surat Keputusan Gubernur Sumatera Selatan nomor 142/KPTS/ III/ 1983 menghapus Pemerintahan Marga sebagai mana bentukkan kolonial yang berdasar IGOB, sebagaimana lanjutan kebijakan sebelum masuknya kolonial Belanda ke Nusantara.
Sehingga tepat sebagai realisasi asas ” nasionalisme” sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 18 UUD 1945 termasuk penjelasan nya, yang kembali kepada kesatuan kesatuan masyarakat hukum adat yang asli ( geneologis).bukan berasaskan teritorial, sebagaimana marga bentukan Sultan Palembang dan dilanjutkan dan dipertahankan oleh pemerintah kolonial tersebut.
Jadi aneh kalau ada usaha sekelompok orang yang akan menghidupkan kembali pemerintahan marga yang sudah dihapuskan dengan undang undang dengan argumentasi untuk pelestarian budaya atau alasan adanya keinginan untuk kembali ke pemerintahan marga itu. Karena masalah pelestarian kearifan lokal tidak ada korelasi nya dengan sistem pemerintahan marga yang sudah hapus itu.
Karena itu perlu dipahami bahwa kearifan lokal itu selalu berkembang seiring perkembangan peradaban manusia sebagai pendukung nya. Pelestarian bukan sekedar menghidupkan hidup kan adat istiadat yang sudah ditinggalkan oleh masyarakat hukum adat nya sendiri. Tentu saja yang lebih tahu dan paham adalah mereka sendiri sebagai subjek pendukung adat istiadat. (**)

*Penulis adalah Pengamat Hukum di Sumatera Selatan

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button