HUMANIORA

Korelasi Antara Kebudayaan Daerah dan Nasional

Oleh: H. Albar Sentosa Subari*

Apabila kita meninjau segala pokok dan pangkal cita cita sejak ” Hari Kebangunan Nasional” sampai Proklamasi Kemerdekaan, makanya ada hasrat menyatukan bangsa Indonesia dengan syarat mutlak untuk mencapai kemerdekaan bangsa, lepas dari penjajahan asing.
Hal hal itulah kiranya yang menyebabkan inisiatif para pemuda di S.t.o.v.i.a Jakarta, dibawah pimpinan pemuda Soetomo dan kawan kawannya, mendapat sukses besar, hingga bersejarah itu, hari 20 Mei 1908, kini diakui sebagai ” hari kebangkitan Nasional”. Ki Hadjar Dewantara menggunakan istilah ” hari kebangun nasional”.
Sebenarnya sebelum hari itu ada maksud untuk mengadakan aksi aksi ke arah kemajuan bangsa yang dipelopori oleh almarhumah Raden Ajeng Kartini dan adik adiknya., Untuk menyatukan para putri cerdik pandai; almarhumah Dokter Wahidin Sudirohusodo, sendiri telah mencoba menyatukan para bupati serta intelektual untuk mengadakan Studiefond; dan lain lain usaha. Tetapi usaha usaha tersebut belum berhasil. Karena masih berdasarkan dan corak ETNIS , yaitu untuk rakyat namun zonder rakyat.
Berkaitan dengan topik kita di atas yaitu korelasi antara kebudayaan daerah dan kebudayaan nasional.
Masalah nya adalah bagaimana sebaiknya kita mempersatukan kepentingan kepentingan yang beraneka ragam itu hingga mencapai sifat sifat nasional yang satu, namun tidak dengan memperkosa sifat-sifat kedaerahan, apabila pemaksaan ( perkosaan istilah Ki Hadjar Dewantara dlm bukunya Jilid dua tentang Kebudayaan, h.89), dapat merugikan rakyat.
Dengan perkataan lain, bagaimana kita seharusnya menetapkan hubungan hubungan dan imbangan imbangan antara kepentingan kepentingan daerah dengan kepentingan kepentingan nasional. Agar lebih luas sifatnya lebih utuh sebagai kebudayaan nasional.
Fries seorang ahli kebudayaan di Nederland, mengatakan bahwa:
a. Kebudayaan nasional Nederland tidak akan terbentuk dan berkembang menjadi kebudayaan yang bernilai, apabila tidak menggunakan kebudayaan kebudayaan provinsi ( maksudnya kebudayaan daerah pribumi) yang luhur.
b. Bahwa kebudayaan kebudayaan provinsi tadi tidak akan terjadi dan berkembang bila tidak sehari hari nya diberi isi oleh kebudayaan kebudayaan kota ( ibid).
Sebelumnya Ki Hadjar Dewantara sudah memikirkan hal itu , yaitu bagaimana korelasi antara dua kebudayaan ( baca daerah dan nasional) itu. Yaitu sebagai mana yang beliau sampaikan saat salah satu kongres kebudayaan di Magelang.
Kesimpulannya adalah bahwa sebagai berikut;
a. Kebudayaan nasional kita ialah segala puncak puncak dan sari sari kebudayaan daerah di seluruh kepulauan Indonesia, baik yang lama maupun yang baru yang berjiwa nasional;
b. Perkembangan kebudayaan nasional kita harus melalui jalan ( beliau sebut ” tri Kon”), : kontinyu dengan apa yang telah silam, konvergen, dengan jalan nya kebudayaan kebudayaan lainnya dan akhirnya konsentris dalam persatuan yang besar ( yaitu bersatu namun tetap mempunyai sifat kepribadian).
Contohnya.
Bahasa Indonesia, yang asalnya kita ambil dari bahasa paling terbesar di daerah daerah bagian barat dari kepulauan kita, yaitu bahasa MELAYU, baik dengan sengaja maupun dengan sendirinya diperkembangkan atau pun berkembang ke arah kesatuan yang sempurna. Tidak saja sifat, bentuk dan isi yang terdapat di dalam bahasa bahasa daerah kita masukkan ke dalam bahasa persatuan kita yang baru, namun beberapa dan jenis jenis susunan kalimat yang terpakai di beberapa bahasa kota kota besar, yang lebih tegas dari bahasa bahasa dialek, masuk juga dalam bahasa kesatuan.
Tentang perkembangan bahasa daerah Jawa, misalnya patut diperingati/ dihargai adanya perkembangan, justru karena ada bahasa bahasa Jawa yang bercorak Yogyakarta dan Surakarta.
Perkembangan adat istiadat lainnya, misalnya adat berpakaian, sama juga keadaan nya. Adanya industri batik di Pekalongan, Yogyakarta, Solo dan lain sebagainya mengakibatkan perkembangan industri kain di seluruh Indonesia.
Di Sumatera Selatan contohnya kita lihat perkembangan motif batik yang bernuansa lokal. Ada batik dari Pali, Mura dan sebagainya.
Para wanita di seluruh kepulauan kita misalnya banyak yang kini bermain secara wanita Solo atau Yogyakarta, sedangkan songkok, kupluk atau peci sekarang dipakai segenap putra Indonesia di seluruh kepulauan.
Untuk memurnikan di masing masing kebudayaan kebudayaan daerah, maka di harapkan setiap kebupaten atau propinsi mendirikan ” Institut ‘, misalnya Java Institut, Batak Institut, Kumoring Institut dan lain lain Institut sesuai kebutuhan.

Kita bebas sebebas-bebasnya untuk memilih, untuk mengembangkan kebudayaan kita atas dasar kebebasan, menuju ke arah kesempurnaan hidup perikemanusiaan . Kita bebas untuk mengadakan hubungan internasional dengan Bangsa Bangsa apapun di dunia, tapi jangan lupa bahwa rakyat kini bebas sebebas-bebasnya pula, untuk memilih dan mengambil segala apa yang ada di daerah yang bukan daerahnya sendiri.
Akuilah apa saja yang bernilai dan dapat memperkaya dan mengembangkan hidup rakyat kita, sebagai Kebudayaan Nasional ‘.
Apabila kita tidak sanggup untuk mengadoptir segala puncak puncak dan sari sari kebudayaan yang terdapat di seluruh kepulauan kita, maka itu berarti rakyat Indonesia pada saat ini belum mempunyai kebudayaan, yang cukup bernilai untuk menghiasi hidup dan kehidupan nya sebagai bangsa yang merdeka.
Apa arti kemerdekaan, kalau rakyatnya terus mengekor kebudayaan kebudayaan bangsa bangsa lain. Ingatlah adanya ” imperialisme” tidak saja di lapangan kenegaraan, namun pula di lapangan kebudayaan.
Namun juga bukan berarti kita segan untuk memasukkan bahan bahan dari kebudayaan kebudayaan asing, darimana pun asalnya, asalkan dengan bahan bahan baru itu rakyat kita dapat mempertinggi hidupnya dengan jalan memperkembang apa yang sudah menjadi milik kita, atau memperkaya, dalam arti menambah dengan apa yang belum kita miliki.
Asal kita jangan meniru belaka ( meng-copieer), asal bahan tadi kita olah atau masak agar menjadi makanan baru yang lezat rasanya serta menambah nilai dalam arti kultural.
Ingat nadi goreng, tetap merupakan makanan nasional, sekalipun di dalam nya terdapat bahan bahan asing, yakni mentega dan keju; karena kita memasaknya, maka kitalah yang tetap memiliki sebagai nasi goreng nasional.
Disari dari tulisan Ki Hadjar Dewantara, 20 Mei 1953. h. 93. (**)

*Penulis adalah Koordinator JPM Sriwijaya, Sumsel.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button